Pendahuluan
Pangan merupakan
komoditas penting dan strategis bagi bangsa Indonesia mengingat pangan adalah
kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi oleh pemerintah dan masyarakat
secara bersama-sama seperti diamanatkan oleh
Undang Undang Nomor 7 tahun 1996 tentang pangan. Dalam UU tersebut
disebutkan Pemerintah menyelenggarakan pengaturan, pembinaan, pengendalian dan
pengawasan, sementara masyarakat menyelenggarakan proses produksi dan
penyediaan, perdagangan, distribusi serta berperan sebagai konsumen yang berhak
memperoleh pangan yang cukup dalam jumlah dan mutu, aman, bergizi, beragam,
merata, dan terjangkau oleh daya beli mereka.
Peraturan Pemerintah No.68 Tahun 2002 tentang
Ketahanan Pangan sebagai peraturan pelaksanaan UU No.7 tahun 1996 menegaskan
bahwa untuk memenuhi kebutuhan konsumsi yang terus berkembang dari waktu ke
waktu, upaya penyediaan pangan dilakukan
dengan mengembangkan sistem produksi pangan yang berbasis pada sumber daya,
kelembagaan, dan budaya lokal, mengembangkan efisiensi sistem usaha pangan, mengembangkan teknologi produksi pangan,
mengembangkan sarana dan prasarana produksi pangan dan mempertahankan dan
mengembangkan lahan produktif.
Di PP tersebut
juga disebutkan dalam rangka pemerataan ketersediaan pangan ke seluruh wilayah
dilakukan distribusi pangan melalui upaya pengembangan sistem distribusi pangan
secara efisien, dapat mempertahankan keamanan, mutu dan gizi pangan serta
menjamin keamanan distribusi pangan.
Disamping itu,
untuk meningkatkan ketahanan pangan dilakukan diversifikasi pangan dengan
memperhatikan sumberdaya, kelembagaan dan budaya lokal melalui peningkatan teknologi pengolahan dan produk
pangan dan peningkatan kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi
anekaragam pangan dengan gizi seimbang.
PP Ketahanan
Pangan juga menggarisbawahi untuk mewujudkan ketahanan pangan dilakukan
pengembangan sumber daya manusia yang meliputi pendidikan dan pelatihan di
bidang pangan, penyebarluasan ilmu
pengetahuan dan teknologi di bidang pangan dan penyuluhan di
bidang pangan. Di samping itu, kerjasama internasional juga dilakukan dalam bidang produksi,
perdagangan dan distribusi pangan, cadangan pangan, pencegahan dan
penanggulangan masalah pangan serta riset
dan teknologi pangan.
II. Kondisi
Ketahanan Pangan
- Impor
Sejak krisis ekonomi hingga sekarang, kemampuan Indonesia untuk memenuhi sendiri kebutuhan pangan bagi
penduduk terus menurun.
Kenyataan yang ada menunjukkan bahwa untuk memenuhi kebutuhan pangan bagi lebih
dari 210 juta jiwa, dalam periode 1997-2003, Indonesia harus mengimpor bahan
pangan diantaranya beras rata-rata 2 juta ton,
kedelai 900 ribu ton, gula pasir 1,6 juta ton, jagung 1 juta ton,
akhir-akhir ini garam sebesar 1,2 juta
ton dan menghabiskan devisa negara 900 juta dolar AS pada tahun 2003 (Tabel 1).
Tabel 1. Volume dan
Nilai Impor beberapa bahan pangan tahun 2003
Komoditas
|
Volume Impor rata-rata-rata
1997-2002
(ton)
|
Volume Impor thn 2003
( ton)
|
Nilai Impor rata-rata
1997-2002 (juta dolar AS)
|
Nilai Impor tahun 2003
(juta dolar AS)
|
Beras
|
2 024 384
|
1 428 433
|
586
|
414
|
Kedelai
|
903 615
|
921 000
|
229
|
275.5
|
Gula
|
1 557 259
|
618 678
|
418
|
85.31
|
Garam
|
1 300 000
|
1 700 000
|
49
|
55
|
Badan Pusat
Statistik, 2003
- Produksi
Produksi
beras mengalami penurunan dalam 1997-2002, kemudian meningkat kembali. (Tabel
2). Produksi beras pada tahun 2003 sebesar 31.2 juta ton. Produksi kedelai
menurun sangat tajam dengan rata-rata penurunan sekitar 25%, akibat
menurunnya luas areal pertanaman kedelai. Produksi kedelai pada tahun 2003
berjumlah 671 ribu ton. Produksi gula cenderung stagnan pada level 1,7 juta
ribu ton. Produksi garam cenderung menurun hanya mencapai 300 000 ton pada
tahun 2003. Menurut ramalan ke -3 BPS, produksi beras dan kedelai tahun 2004
meningkat sedikit dari tahun 2003.
Tabel 2. Produksi beberapa bahan pangan tahun
2003
Komoditi
|
Produksi (000 ton)
|
Pertumbuhan (%)
|
||
Rata-rata 1999-2002
|
2003
|
1999-2002
|
2003
terhadap 2002
|
|
Beras
|
30.294
|
31.200
|
-1.15
|
2.92
|
Kedelai
|
712
|
672
|
-25.15
|
-0.09
|
Gula
|
1.692
|
1.681
|
3.73
|
-1.16
|
Garam
|
700
|
350
|
-25
|
-10
|
- Konsumsi
Di sisi lain kebutuhan pangan cenderung
meningkat 2,5-4% sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk. Kebutuhan beras,
kedelai, gula dan garam pada tahun 2003 masing-masing berjumlah 33,4 juta ton,
1,95 juta ton, 3 juta ton, dan 2,05 juta ton.
Tabel 3. Kebutuhan beberapa bahan pangan tahun 2003
Komoditi
|
Kebutuhan (000 ton)
|
Pertumbuhan
|
||
2002
|
2003
|
ton
|
%
|
|
Beras
|
32.158
|
33.372
|
1.214
|
3.78
|
Kedelai
|
1.901
|
1.951
|
50
|
2,6
|
Gula
|
2.883
|
3.000
|
117
|
4
|
Garam
|
2.000
|
2.050
|
50
|
2,5
|
Melihat data produksi dan kebutuhan
pangan pada tahun 2003 terlihat bahwa terjadi defisit untuk keempat jenis
komoditas pangan tersebut, beras sejumlah 1, 6 juta ton, kedelai 1,3 juta ton,
gula 1,32 juta ton dan garam sejumlah 1,7 juta ton. Defisit pangan ini diatasi
dengan cara mengimpor . Kecuali untuk
beras, persentase impor pangan lainnya terhadap produksi sangat mengkhawatirkan
berkisar 30-70%.
Dengan jumlah penduduk yang besar
sekitar 216 juta jiwa pada tahun 2003 dan laju pertumbuhan 1.35% per tahun,
maka kebutuhan pangan akan semakin besar di masa mendatang. Pada tahun 2005
jumlah penduduk Indonesia diperkirakan akan mencapai 220.6 juta jiwa, dan tahun
2010 sebesar 236 juta. Apabila
kemampuan produksi bahan pangan nasional tidak dapat mengikuti peningkatan
kebutuhannya, maka Indonesia akan semakin tergantung pada impor yang berdampak
membahayakan ketahanan nasional.
III.
Tantangan dan Hambatan
Permasalahan dan
tantangan yang dihadapi oleh pemerintah dalam mencapai ketahanan pangan
menyangkut beberapa aspek 1) Ketersediaan Pangan, 2) Distribusi Pangan 3)
Konsumsi pangan, 4) Pemberdayaan masyarakat dan
5) Manajemen.
1. Ketersediaan Pangan
Dalam aspek ketersediaan pangan, masalah
pokok adalah semakin terbatas dan menurunnya kapasitas produksi dan daya saing
pangan nasional. Hal ini disebabkan oleh faktor faktor teknis dan sosial -
ekonomi;
a. Teknis
·
Berkurangnya areal lahan
pertanian karena derasnya alih lahan pertanian ke non pertanian seperti
industri dan perumahan (laju 1%/tahun).
·
Produktifitas pertanian yang
relatif rendah dan tidak meningkat.
·
Teknologi produksi yang
belum efektif dan efisien.
·
Infrastruktur pertanian
(irigasi) yang tidak bertambah selama krisis dan kemampuannya semakin menurun.
·
Masih tingginya proporsi
kehilangan hasil pada penanganan pasca panen (10-15%).
·
Kegagalan produksi karena
faktor iklim seperti El-Nino yang berdampak pada musim kering yang panjang di
wilayah Indonesia dan banjir .
b. Sosial- ekonomi
o Penyediaan
sarana produksi yang belum sepenuhnya terjamin oleh pemerintah.
o Sulitnya
mencapai tingkat efisiensi yang tinggi dalam produksi pangan karena besarnya
jumlah petani (21 juta rumah tangga petani) dengan lahan produksi yang semakin
sempit dan terfragmentasi (laju 0,5%/tahun).
o Tidak
adanya jaminan dan pengaturan harga produk pangan yang wajar dari pemerintah
kecuali beras.
o
Tata niaga produk pangan
yang belum pro petani termasuk kebijakan tarif impor yang melindungi
kepentingan petani.
o
Terbatasnya devisa untuk
impor pangan sebagai alternatif terakhir bagi penyediaan pangan.
2. Distribusi Pangan
a. Teknis
· Belum
memadainya infrastruktur, prasarana distribusi darat dan antar pulau yang dapat
menjangkau seluruh wilayah konsumen.
· Belum
merata dan memadainya infrastruktur pengumpulan, penyimpanan dan distribusi
pangan , kecuali beras.
· Sistem
distribusi pangan yang belum efisien.
· Bervariasinya
kemampuan produksi pangan antar wilayah dan antar musim menuntut kecermatan
dalam mengelola sistem distribusi pangan agar pangan tersedia sepanjang waktu
diseluruh wilayah konsumen.
b. Sosial-ekonomi
·
Belum
berperannya kelembagaan pemasaran hasil pangan secara baik dalam menyangga
kestabilan distribusi dan harga pangan.
·
Masalah
keamanan jalur distribusi dan pungutan resmi pemerintah pusat dan daerah serta
berbagai pungutan lainnya sepanjang jalur distribusi dan pemasaran telah
menghasilkan biaya distribusi yang mahal dan meningkatkan harga produk pangan.
3. Konsumsi Pangan
a. Teknis
·
Belum
berkembangnya teknologi dan industri
pangan berbasis sumber daya
pangan lokal
·
Belum
berkembangnya produk pangan alternatif berbasis sumber daya pangan lokal.
b. Sosial-ekonomi
- Tingginya
konsumsi beras per kapita per tahun ( tertinggi di dunia > 100 kg,
Thailand 60 kg, Jepang 50 kg) .
- Kendala
budaya dan kebiasaan makan pada sebagian daerah dan etnis sehingga tidak mendukung
terciptanya pola konsumsi pangan dan gizi seimbang serta pemerataan
konsumsi pangan yang bergizi bagi anggota rumah tangga.
- Rendahnya
kesadaran masyarakat, konsumen maupun produsen atas perlunya pangan yang
sehat dan aman.
- Ketidakmampuan
bagi penduduk miskin untuk mencukupi pangan dalam jumlah yang memadai
sehingga aspek gizi dan keamanan pangan belum menjadi perhatian utama.
4. Pemberdayaan Masyarakat
o Keterbatasan
prasarana dan belum adanya mekanisme kerja yang efektif di masyarakat dalam merespon
adanya kerawanan pangan, terutama dalam penyaluran pangan kepada masyarakat
yang membutuhkan.
o Keterbatasan
keterampilan dan akses masyarakat miskin
terhadap sumber daya usaha seperti permodalan, teknologi, informasi pasar dan
sarana pemasaran meyebabkan mereka kesulitan untuk memasuki lapangan kerja dan
menumbuhkan usaha.
o
Kurang
efektifnya program pemberdayaan masyarkat yang selama ini bersifat top-down
karena tidak memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan kemampuan masyarakat yang
bersangkutan.
o
Belum
berkembangnya sistem pemantauan kewaspadaan pangan dan gizi secara dini dan
akurat dalam mendeteksi kerawanan panagan dan gizi pada tingkat masyarakat.
5. Manajemen
Keberhasilan
pembangunan ketahanan dan kemandirian pangan dipengaruhi oleh efektifitas penyelenggaraan
fungsi-fungsi manajemen pembangunan yang meliputi aspek perencanan,
pelaksanaan, pengawasan dan pengendalian serta koordinasi berbagai kebijakan
dan program. Masalah yang dihadapi dalam aspek manajemen adalah:
o Terbatasnya ketersediaan data yang akurat, konsisten ,
dipercaya dan mudah diakses yang diperlukan untuk perencanaan pengembangan
kemandirian dan ketahanan pangan
o
Belum
adanya jaminan perlindungan bagi pelaku usaha dan konsumen kecil di bidang
pangan.
o Lemahnya
koordinasi dan masih adanya iklim egosentris dalam lingkup instansi dan antar
instansi, subsektor, sektor, lembaga pemerintah dan non pemerintah, pusat dan
daerah dan antar daerah.
VI.
Strategi Menghadapi Tantangan
Strategi yang
dikembangkan dalam upaya pembangunan kemandirian pangan adalah sebagai berikut
:
- Peningkatan kapasitas
produksi pangan nasional secara berkelanjutan (minimum setara dengan laju
pertumbuhan penduduk) melalui intensifikasi, ekstensifikasi dan
diversifikasi.
- Revitalisasi industri
hulu produksi pangan (benih, pupuk, pestisida dan alat dan mesin
pertanian) .
- Revitalisasi Industri
Pasca Panen dan Pengolahan Pangan.
- Revitalisasi dan
restrukturisasi kelembagaan pangan yang ada ; koperasi, UKM dan lumbung
desa.
- Pengembangan kebijakan
yang kondusif untuk terciptanya kemandirian pangan yang melindungi pelaku
bisnis pangan dari hulu hingga hilir meliput penerapan technical barrier
for Trade (TBT) pada produk pangan, insentif, alokasi kredit , dan
harmonisasi tarif bea masuk, pajak resmi dan tak resmi.
Ketahanan pangan diwujudkan oleh hasil kerja sistem
ekonomi pangan yang terdiri dari subsistem ketersediaan meliput produksi ,
pasca panen dan pengolahan, subsistem distribusi dan subsistem konsumsi yang
saling berinteraksi secara berkesinambungan. Ketiga subsistem tersebut
merupakan satu kesatuan yang didukung oleh adanya berbagai input sumberdaya
alam, kelembagaan, budaya, dan teknologi. Proses ini akan hanya akan berjalan
dengan efisien oleh adanya partisipasi
masyarakat dan fasilitasi pemerintah. Partisipasi masyarakat ( petani, nelayan
dll) dimulai dari proses produksi, pengolahan , distribusi dan pemasaran serta
jasa pelayanan di bidang pangan. Fasilitasi pemerintah diimplementasikan dalam
bentuk kebijakan ekonomi makro dan mikro di bidang perdagangan, pelayanan dan
pengaturan serta intervensi untuk mendorong terciptanya kemandirian pangan.
Output dari pengembangan kemandirian pangan adalah terpenuhinya pangan, SDM
berkualitas, ketahanan pangan, ketahanan ekonomi dan ketahanan nasional.
VII.
Alternatif Solusi
Dengan
memperhatikan pedoman dan ketentuan hukum, serta tujuan dan strategi untuk
mewujudkan ketahanan pangan , maka
kebijakan dan program yang akan ditempuh dikelompokkan dalam 1) Program jangka
pendek (sampai dengan 5 tahun) 2)
Program jangka menengah (5-10 tahun )
dan 3) Program jangka panjang (> 10 tahun)
1. Ekstensifikasi
atau perluasan lahan pertanian (140.000 Ha/tahun)
Ekstensifikasi
lahan pertanian ditujukan untuk memperluas lahan produksi pertanian, sehingga
produksi pangan secara nasional yang sekarang dapat ditingkatkan.
Ekstensifikasi dilakukan terutama untuk kedelai,
gula dan garam karena rasio impor terhadap produksi besar (30-70%).
Lahan yang diperluas diperuntukkan bagi petani miskin dan tunakisma (< 0.1
Ha), tetapi memiliki keahlian/pengalaman bertani. Lahan kering yang potensial
seluas 31 juta Ha dapat dimanfaatkan menjadi lahan usahatani. Sekarang ini baru
4 juta Ha lahan kering yang telah dibuka untuk area tanaman pangan dan
perkebunan yang telah dibagikan kepada lebih dari 1 juta keluarga petani.
Perluasan dilakukan di propinsi yang luas dan kaya seperti Kalimantan, Jambi,
Irian Jaya dan Sumatra Selatan.
Biaya yang diperlukan bagi
ekstensifikasi lahan pertanian untuk kedelai dengan asumsi luas lahan pertanian
yang dibuka adalah 140000 Ha/tahun dan biaya pembukaan lahan kering adalah 4
000 000/Ha dan biaya budidaya Rp 3,5 juta tahun maka kebutuhan biaya
ekstensifikasi adalah 1,05 trilyun rupiah per tahun. Target kepemilikan lahan
petani adalah 2 Ha (karena akan efisien) sehingga jumlah petani yang memiliki
lahan 2 Ha akan bertambah 70000 petani/tahun. Biaya budidaya direvolving untuk
tahun berikutnya sehingga tidak perlu mengalokasikan dana untuk yang sudah
dibuka. Kenaikan produksi yang
diharapkan adalah untuk kedelai 280 000 ton dengan masa tanam 2 kali. Untuk
gula dan garam, ekstensifikasi dilakukan dengan memanfaatkan kembali lahan
produksi gula dan garam yang telah beralihfungsi.
2. Intensifikasi
Program ini diarahkan untuk peningkatan produksi
melalui peningkatan produktifitas pertanian.
Intensifikasi ditujukan pada lahan-lahan pertanian subur dan produktif yang
sudah merupakan daerah lumbung pangan seperti Kerawang, Subang dan daerah
pantura lainya di Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan propinsi lainnya.
Penekanan program ini pada peningkatan pertanaman (dari 1 menjadi 2, dari 2
kali menjadi 3 kali ) dan ketepatan masa tanam didukung oleh adanya peralatan
pertanian, kebutuhan air (jaringan irigasi baru), pupuk dan benih serta
pengendalian hama penyakit terpadu.
Peningkatan produktifitas padi 10% per 5 tahun dapat
mempercepat terwujudnya swasembada beras (konsumsi 100 kg/kapita/hari).
Untuk kedelai swasembada sulit dicapai
tanpa diimbangi dengan peningkatan luas areal kedelai secara signifikan.
Produktifitas kedelai perlu ditingkatkan
sebesar 50-100% diimbangi dengan penambahan luas areal 2-3 kali lipat dari yang
ada sekarang. Produktifitas gula dan garam perlu ditingkatkan sebesar 50-100%,
diimbangi dengan perluasan areal tebu dan garam.
3. Diversifikasi
Kegiatan diversifikasi ditujukan untuk meningkatkan
produksi pangan pokok alternatif selain beras, penurunan konsumsi beras dan
peningkatan konsumsi pangan pokok alternatif yang berimbang dan bergizi serta
berbasis pada pangan lokal. Diversifikasi dilakukan
dengan mempercepat implementasi teknologi pasca panen dan pengolahan pangan
lokal yang telah diteliti ke dalam industri. Dukungan sektor alat dan mesin dan
kredit menjadi penting pada saat transformasi dari skala laboratorium menjadi
skala industri agar proses produksi berjalan efisien.
4. Revitalisasi Industri Pasca Panen dan Pengolahan Pangan
Revitalisasi/restrukturisasi industri
pasca panen dan pengolahan pangan diarahkan pada 1) penekanan kehilangan hasil
dan penurunan mutu karena teknologi penanganan pasca panen yang kurang baik, 2)
pencegahan bahan baku dari kerusakan dan 3) pengolahan bahan baku menjadi bahan
setengah jadi dan produk pangan.
Kegiatan
yang dilakukan adalah implementasi alat mesin dan teknologi pasca panen yang
efektif dan efisien ; perontokan dan pengeringan pada tingkat petani,
pengumpul, KUD dan usaha jasa pelayanan alsin pasca panen di sentra produksi
(beras, kedelai). Produktifitas industri gula ditingkatkan dengan modernisasi
alat dan mesin pengolahan gula.
Industri
pangan non beras di sentra produksi didorong pengembangannya untuk mengolah
bahan mentah menjadi bahan baku dan bahan baku menjadi produk pangan. Dengan
demikian, industrialisasi dan agroindustri pangan akan berkembang dan tumbuh di
pedesaan. Program ini akan berdampak luas kepada penyediaan lapangan kerja dan
penurunan laju urbanisasi. Jenis industri pengolahan pangan yang dikembangkan
disesuaikan dengan potensi bahan baku dan adanya pasar.
5. Revitalisasi
dan Restrukturisasi Kelembagaan Pangan
Keberadaan,
peran dan fungsi lembaga pangan seperti kelompok tani, UKM, Koperasi perlu
direvitalisasi dan restrukturisasi untuk mendukung pembangunan kemandirian
pangan. Kemitraan antara lembaga perlu
didorong untuk tumbuhnya usaha dalam bidang pangan. Koordinator kegiatan ini adalah Meneg
Koperasi dan UKM dan Deptan dibantu oleh Depperindag. Alokasi dana untuk kegiatan ini berupa
koordinasi antar departemen dan instansi untuk melahirkan kebijakan baru untuk
kelembagaan pangan. Kebutuhan dana dibebankan pada anggaran masing-masing
departemen.
6. Kebijakan
Makro
Kebijakan
dalam bidang pangan perlu ditelaah dan dikaji kembali khususnya yang mendorong
tercapainya ketahanan pangan dalam waktu 1-5 tahun. Beberapa hal yang perlu dikaji seperti pajak
produk pangan, retribusi, tarif bea masuk, iklim investasi, dan penggunaan
produksi dalam negeri serta kredit usaha.
PUSTAKA
- Achmad Suryana, 2001. Kebijakan Nasional Pemantapan Ketahanan Pangan. Makalah pada Seminar Nasional Teknologi Pangan, Semarang , 9-10 Oktober 2001
- Anonim, 1996. Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Kantor Menteri Negara Pangan RI.
- Anonim , 2000. Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional.
- Siswono Yudo Husodo. 2001.Kemandirian di Bidang Pangan, Kebutuhan Negara Kita. Makalah Kunci pada Seminar Nasional Teknologi Pangan, Semarang , 9-10 Oktober 2001
Tidak ada komentar:
Posting Komentar