Iklan Premium

Judul Iklan

Isi Potongan Iklan
Dikirim oleh : Nama Pengirim, Alamat, No Telp | Kunjungi Website

Kebijakan Impor Bawang Putih Cermin Kegagalan Swasembada Pangan


A.     Permasalahan
Setelah publik dipusingkan dengan harga daging, sekarang ditambah dengan lonjakan harga bawang yang tidak terkendali, para pedagang  mengeluhkan kenaikan harga ini, terutama bawang putih yang naik sangat fantastis sehingga  menyebabkan omzet pedagang menurun secara signifikan. Sebagaimana yang dikeluhkan Agus pedagang bawang sebuah pasar di Jakarta Selatan karena menyebabkan konsumen membatasi pembelian bawang: “Naiknya terlalu tinggi, menjadi Rp 45.000 (per kilogram) sampai Rp 50.000 (per kilogram),” bahkan  beberapa daerah naik sampai sekitar Rp 80.000 per kilogram. Sementara itu, harga bawang merah yang semula Rp 8.000 per kilogram menjadi sekitar Rp 25.000 atau bahkan Rp 40.000 setiap kilogram.
Anomali intervensi kebijakan yang tidak jelas visinya tampak dari kebijakan pembatasan bawang putih yang diambil pemerintah. Sebagaimana diketahui, mahalnya harga bawang saat ini merupakan konsekuensi dari dibatasinya impor sebagai realisasi penerapan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 60 Tahun 2012 tentang Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH). Permentan tersebut menyatakan bahwa jumlah kuota impor tujuh komoditas hortikultura dibatasi masuk ke Indonesia sampai 30 Juni 2013, dan bawang adalah salah satunya.
Kebutuhan bawang di Indonesia sekitar 1,3 juta ton per tahun sementara  kemampuan produksi dalam negeri sekitar 30 persen dari total kebutuhan tersebut, sehingga 70 persen sisanya harus diimpor dari  Thailand, Filipina, Vietnam dan Malaysia.  Akan tetapi sejak  Januari hingga Juni 2013, Pemerintah mulai melakukan Pembatasan impor berbagai komoditas yang diawali dengan pembatasan 13 komoditas hortikultura di antaranya kentang, kubis, wortel  dan cabai, pembatasan impor juga akan diberlakukan terhadap berbagai komoditas lain secara bergantian.
Kebijakan tersebut diprotes berbagai kalangan terutama negara-negara eksportir. Namun pemerintah tetap memberlakukan kebijakan tersebut dengan alasan melindungi petani dan produk dalam negeri serta tidak terus bergantung pada impor. Bagaimana mungkin bisa, produksi bawang domestik yang hanya mampu memenuhi kebutuhan 5 persen nasional mensubstitusi 95 persen kebutuhan nasional dari sumber impor.
Ada dua hal yang dapat dilihat dari krisis bawang yang terjadi, yang pertama  Kesalahan kebijakan dan berbelitnya aturan main yang dibuat pemerintah dalam memenuhi kebutuhan harian masyarakat. Dan kedua,  pemerintah bermaksud membatasi kuota impor agar menjadi insentif pendukung swasembada, kebijakan yang pro rakyat. Namun harus dipahami masyarakat bahwa bawang adalah tanaman subtropis yang bisa tumbuh bagus di dataran tinggi seperti daerah Berastagi Sumut atau di kaki gunung Merapi. Tidak semua tempat cocok untuk menanam bawang. Swasembada yang dilakukan tanpa menyiapkan diri tentu akan berakibat fatal pada banyak aspek kehidupan masyarakat.

B.    Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.    Bagaimana kebijakan pembatasan impor yang diterapkan pemerintah terhadap produk bawang?
2.    Bagaimana dampak dari kebijakan pembatasan impor tersebut bagai petani bawang?
3.    Bagaimana dampak dari kebijakan pembatasan impor tersebut bagi masyarakat sebagai konsumen?


C.    Tinjauan Pustaka
Ilmu ekonomi dan ilmu politik terpisah dan saling lepas, tidak dalam satu kesatuan ilmu humaniora. Ilmu ekonomi prinsipnya cocok untuk analisis kelembagaan pasar. Ilmu sosial politik tumpul jika bersinggungan dengan instansi pasar sehingga perlu dipertanyakan. Ekonomi politik selalu mengacu pada kepada interaksi antara aspek ekonomi dan aspek politik yakni bagaimana pengaruh aspek politik terhadap kebijakan ekonomi suatu negara.

Ilmu ekonomi politik menurut P Todaro: membahas hubungan politik dan ekonomi dengan tekanan pada peran kekuasaan dalam pengambilan keputusan ekonomi. Akibat dari adanya ekonomi politik tersebut terlihat pada beberapa pernyataan berikut:
1.    Proses politik dan ekonomi tidak bisa dipisahkan. Ekonomi tentang fenomena kekayaan dan politik kekuasaan saling mempengaruhi, politik menentukan kerangka kegiatan ekonomi dan menyalurkannya kearah tertentu demi memenuhi kepentingan kelompok dominan.
2.    Untuk memahami peran penting Negara. Perspektif ekonomi politik menggambarkan dua obyek penting yang interaksinya sangat menentukan arena politik, yaitu pasar dan Negara. Mekanisme pasar dan struktur kekuasaan saling tergantung. Negara menetapkan konteks bagi beroperasinya pasar. Dengan daya paksa, negara mengatur pasar. Sebaliknya hukum pasar tidak bisa diabaikan. Ringkasnya, dalam proses kebijakan mekanisme pasar dan struktur kekuasaan saling terkait. Kebijakan publik adalah hasil dari interaksi antara “pasar” dan “negara”.
3.    Akibat kelangkaan sumberdaya, tidak ada kebijakan politik yang bisa memuaskan semua pihak secara optimal. Pasti ada pihak yang lebih diuntungkan dan yang lebih dirugikan oleh suatu kebijakan pemerintah.

Ilmu ekonomi dan ilmu politik memberikan perhatian pada pembentukan kebijakan, yaitu apakah kebijakan tersebut menimbulkan surplus/deficit. Salah satu masalah ekonomi yaitu sumber daya terbatas dan keinginan yang tidak terbatas.

Lima konsep penting dalam ekonomi yaitu: 1) insentif ekonomi (kecenderung orang akan mengikuti sesuatu hal yang memberikan keuntungan ekonomi), 2) Opportunity cost (memilih nilai dari alternative terbaik), 3) Efisiensi ekonomi ( sumberdaya dialokasikan untuk berproduksi pada titik optimal), 4) Marginalisme (aktivitas ekonomi terus dilakukan apabila ada tambahan manfaat), dan 5) hasil makin berkurang.

a.  Ekonomi Politik Baru
Ekonomi Politik Baru (EPB) atau New Political Economy yang kemudian popular dengan sebutan “Rational Choice” (RC) dan “Public Choice (PC). Pendekatan EPB berbeda dengan pendekatan klasik yang hanya menjangkau fenomena dan kelembagaan ekonomi pasar. Dalam pendekatan EPB berusaha untuk memahami realitas politik dalam bentuk-bentuk sikap sosial dalam kerangka analisis yang dianalogikan pada aktor individual yang rasional. Pendekatan EPB bersifat liberal-individual, dalam hal ini kepentingan individu jauh lebih penting dibandingkan dengan variabel-variabel lainnya.

Pendekatan ini dapat diaplikasikan untuk berbagai fenomena ekonomi maupun politik: pemilihan umum, watak konsumen, tabiat petani pamakai air, sikap pemerintah dalam proses pengambilan keputusan bagi kebijakan public. 

1. Pelaku Rasional (Popkin)
Petani sebagai pelaku rasional yang memiliki dampak langsung bagi perekonomian suatu negara, rasional dalam artian bahwa pengorbanan yang dikeluarkan lebih kecil dan memperoleh lebih banyak keuntungan. Contoh-contoh protes massa petani terhadap penetrasi kapitalisme, menurut Popkin, secara kolektif tidak ditujukan untuk meletakkan basis kelembagaan prakapitalisme, tetapi lebih merupakan tameng untuk menetralisasi dampak kapitalisme dan justru menghancurkan feodalisme yang telah lama bercokol di pedesaan negara-negara Asia Tenggara.

2. Pasar dan Negara (Bates)
Bates mengemukakan bahwa krisis pangan di Afrika Tropis terjadi karena kesalahan kebijakan, pemerintah menetapkan harga pangan yang relatif rendah, tidak menguntugkan petani. Sebagai respon, petani menggunakan pasar untuk menentang kebijakan pemerintah dan protes tersembunyi. Petani menanam tanaman tidak menguntungkan dan berduyun-duyun meninggalkan desa untuk menyerbu kota-kota.

3. Kelangkaan dan Pilihan
Rotchild dan Curry melihat hubungan kepentingan public, kepentingan dan tujuan organisasi kolektif. Masyarakat adalah pengambil sikap rasional. Sebagai contoh, kasus di Afrika Tengah tentang usaha pemanfaatan sumber-ssumber ekonomi, yang terbatas untuk dipakai dalam pengentasan kemiskinan secara efektif, jika masyarakat tidak mengikuti kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah biasanya langsung diklaim tidak bisa mengikutinya, padahal ada yang salah dari kebijakan tersebut.

b.  Teori Organisasi dan Tindakan Kolektif
Menurut Mancur Olson, jika ada pembonceng gratis (free rider problem) maka organisasi tidak efisien dan biaya transaksi tinggi. Pembonceng gratis disini maksudnya adalah orang-orang yang menikmati dana pemerintah tanpa ada persyaratan yang jelas. Adapun berkembangnya pembonceng gratis karena berlangsung dalam kelompok besar dimana setiap individu tidak bisa mengontrol individu lainnya sehingga menyebabkan kelompok makin tidak efektif. 

Komoditas publik adalah komoditas yang tidak bisa dikonsumsi secara individu tanpa berpengaruh apa pun terhadap individu-individu lain di dalam kelompok. Komuditas publik secara relatif akan semakin kecil ketika kelompok semakin besar. Manfaat komuditas publik akan lebih sedikit diterima oleh anggota-anggota di dalamnya.

c.   Barang Publik dan Barang Privat 
Barang pribadi/publik (private goods) adalah barang-barang yang ekskludabel dan rival. Barang yang produksi dan penggunaannya dapat dipisahkan dari penggunaan oleh orang lain. Barang public ini merupakan barang dan jasa yang sangat bermanfaat tetapi tidak disukai produsen karena tidak menguntungkan. Barang seperti ini adalah barang yang mengandung eksternalitas positif terlalu besar, yaitu barang yang pada dasarnya akan menguntungkan banyak orang tetapi terlalu mahal apabila diproduksi oleh suatu perusahaan. Sebagian besar barang yang ada di pasar adalah barang pribadi. Saat kita menganalisis penawaran dan permintaan kita mengasumsikan bahwa semua barang bersifat ekskludabel dan rival. Idealnya, negara menyediakan barang publik dalam jumlah yang memadai.

Barang publik (public goods) adalah barang-barang yang tidak ekskludabel dan juga tidak rival. Artinya siapa saja tidak bisa mencegah untuk memanfaatkan barang ini, dan konsumsi seseorang atas barang ini tidak mengurangi peluang orang lain melakukan hal yang sama. Barang privat merupakan barang yang tidak bisa dikecualikan penggunaannya dari orang lain. Setiap orang dapat menikmatinya tanpa harus mengurangi kenikmatan orang lain, setiap orang memiliki akses yang sama ke barang tersebut. Contoh dari barang publik adalah jalan raya. Di mana setiap orang dapat menikmatinya tanpa harus berkompetisi dengan orang lain.

d.  Rent Seeking & Public Choice
Transformasi konsep ekonomi klasik ke dalam ekonomi politik. Ada tiga konsep pendapatan, yaitu:
1.    Profits (keuntungan)
- Mempunyai resiko yang tinggi
- Sumber pendapatan utama
- Susah memprediksi apakah memperoleh untung atau tidak

2.    Wages (upah)
- Kadang-kadang tidak mempunyai resiko karena upah itu pasti
- Biaya dari pelayanan
- Semakin produktif semakin proporsional
- Nilai individu
- Modal manusia
- Dibutuhkan talenta untuk mendapatkan upah
- Lebih mudah diperoleh dibanding profits

3.    Rents (sewa)
- Uangnya untuk aset capital
- Lebih mudah diperoleh dibanding profits dan wages
- Tidak dibutuhkan kerja keras dan talenta

Motivasi jalan pintas tergampang dalam bisnis normal dengan income melalui rente (sewa) tidak bermakna negative sepanjang aset yang disewakan merupakan hak miliknya yang sah. Masalah muncul ketika motif ini pindah ke domain public, motivasi rent seeking dilakukan dengan kekuatan kekuasaan untuk kelompok kepentingan kecil, dan kekuasaan bukan aset milik sekelompok kecil tersebut tetapi milik public atau rakyat banyak, serta kekuasaan dipakai oleh segelintir orang. Rent seekers adalah pengusaha atau segelintir orang yang menggunakan kekuasaan (aset publik) untuk dirinya secara inidividu.


D.    Analisis
Pertanyaan awal yang harus dijawab ialah apakah lonjakan harga dan hilangnya pasokan saat ini terjadi akibat kesenjangan permintaan dan penawaran? Dari sisi permintaan, sangat mungkin ada pertumbuhan permintaan bawang putih yang cukup besar secara persisten. Sebagaimana diketahui, sejak beberapa tahun terakhir, industri pengolahan pangan tumbuh relatif tinggi. Pada 2012, misalnya, data investasi portofolio sangat tinggi untuk sektor barang-barang konsumsi termasuk industri makanan dan restoran. 

Data investasi langsung juga menunjukkan penanaman modal dalam negeri (PMDN) yang paling tinggi terjadi pada industri makanan dengan porsi 12%, hampir sama dengan investasi industri mineral dan logam.
Data produk domestik bruto (PDB) juga mengindikasikan pertumbuhan sektor manufaktur yang relatif tinggi, yakni 5,9% pada tahun lalu, terutama didorong pertumbuhan subsektor industri perdagangan, hotel dan restoran serta yang kedua ialah pertumbuhan subsektor industri makanan. Pertumbuhan industri pengolahan makanan, salah satunya, memang didorong pertumbuhan pengolahan crude palm oil (CPO). Namun, industri pengolahan makanan lainnya juga tumbuh cukup tinggi yang didorong kemunculan kelas menengah baru Indonesia yang sangat pesat.
Menurut Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia, jumlah penduduk Indonesia yang masuk kategori kelas menengah meningkat dari 45 juta jiwa pada 1998 menjadi 134 juta jiwa pada 2010. Namun, itu masih didominasi `kelas menengah bawah', yakni penduduk dengan pengeluaran sebesar US$2-US$4 per kapita per hari (sedikit di atas kategori miskin yang sebesar < US$2 per kapita per hari).

Kemunculan kelas menengah baru yang masuk kategori kelas me nengah bawah akan ditandai dengan pertumbuhan tinggi pada produk-produk konsumsi terutama konsumsi makanan. Artinya, dari sisi permintaan, sangat mungkin terjadi pertumbuhan yang amat tinggi untuk komoditas bahan makanan seperti bawang putih. Meski demikian, peningkatan permintaan yang terjadi berkat pertumbuhan investasi dan konsumsi produk makanan tidak akan mendorong kenaikan harga bawang putih yang sangat tinggi dan secara tiba-tiba.

Sebagaimana diberitakan, harga bawang putih yang semula hanya berkisar Rp15 ribu per kilogram (kg) tiba-tiba melesat menjadi Rp50 ribu per kg bahkan mendekati Rp100 ribu per kg di beberapa kota. Lonjakan harga juga tidak akan sedrastis saat ini meskipun terjadi masalah di sisi pasokan seperti keterlambatan dikeluarkannya izin impor bawang putih.

Pembatasan kuota impor bawang putih dalam perspektif kebijakan publik layak dipertanyakan, untuk siapa kebijakan ini ditujukan? Pasti bukan untuk kepentingan masyarakat (konsumen) pada umumnya. Sebagaimana diketahui, kebijakan ini telah berkontribusi merugikan masyarakat. Khususnya masyarakat yang berpenghasilan tetap, terlebih di kalangan masyarakat kecil, karena kenaikan harga pada Februari 2013 sewaktu harga bawang putih sebesar Rp 26 ribu per kilogram saja telah memberi kontribusi 0,12 persen dari 0,75 persen angka inflasi bulan tersebut. Tentu kontribusinya terhadap inflasi akan menjadi lebih besar lagi ketika harga mencapai angka Rp 100 ribu pada Maret ini. 

Mengatakan kebijakan ini untuk menolong petani juga rasanya tidak bisa dibenarkan, mengapa? Kemampuan suplai domestik dalam memenuhi kebutuhan bawang putih domestik hanya 5 persen, sedangkan 95 persennya kita mengimpor. Angka itu menunjukkan bahwa petani yang terlibat di dalamnya sangat tidak berarti. Dan, umumnya petani yang menanam bawang putih bukan sebagai produk utamanya. Terlalu naif kalau alasan yang diajukan dari pembatasan impor bawang putih adalah ingin berpihak kepada petani. 

Dalam keadaan jumlah petani bawang putih yang kecil tersebut, kalau memang pemerintah ingin menolong mereka, yang harus dilakukan bukan proteksi dalam bentuk intervensi harga output. Yang lebih tepat adalah intervensi untuk menekan biaya produksi petani melalui subsidi biaya produksi, seperti bantuan benih unggul serta membantu best practice budi daya dan teknologi pascapanen, sehingga produktivitas petani bawang putih lokal bisa meningkat, sedangkan harga pasar relatif stabil.

sangat disayangkan jika alasan pemerintah mengeluarkan kebijakan pembatasan impor bawang putih adalah agar masyarakat konsumen bisa mendiversifikasi kebutuhan bawang putihnya dari semula bawang putih impor ke produksi dalam negeri.

Bawang putih merupakan komoditas subtropis yang tidak cocok dengan iklim tropis Indonesia. Untuk memproduksi dan mengembangkan secara besar-besaran, diperlukan introduksi teknologi budi daya dan pascapanen yang tinggi. Padahal, di sisi lain, bawang putih bukan produk yang mendapat perhatian pemerintah, baik dalam anggaran pengembangan, bantuan teknologi budi daya, maupun pascapanen. Dengan demikian, sangat aneh kalau kemudian berharap bawang putih lokal bisa menggeser bawang putih impor.

Kecurigaan yang muncul adalah motif berburu rente di balik lahirnya kebijakan ini. Kebijakan ini hanya menguntungkan segelintir pelaku ekonomi yaitu importir. Karut-marut kebijakan pembatasan impor telah menyebabkan harga bawang putih di pasar naik hingga Rp 100 ribu per kilogram sementara mereka membeli bawang putih dengan harga setara Rp 13 ribu per kilogram dari Cina, sebagai negara pemasok terbesar bawang impor (90-95 persen). 

Saat ini, untuk menekan harga bawang putih secara signifikan, para importir diminta pemerintah menjual dengan harga Rp 30 ribu per kilogram ke pedagang besar. Sebagai komparasi tahun lalu, kita mengimpor 410.100 ton bawang putih dari Cina. Dengan angka impor yang sedemikian, kebijakan pembatasan impor ini telah melahirkan rente ekonomi ke tangan importir Rp 17 ribu per kilogram atau sekitar Rp 6,9 triliun.

Rente ekonomi yang sangat besar tercipta karena masuknya kekuatan destruktif ke pasar. Penyebab hadirnya kekuatan destruktif dalam pasar adalah ketika pelaku pasar kongkalikong dengan kekuatan di luar pasar, khususnya pengambil kebijakan penting negara, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. 

Kekuasaan pasar yang sedemikian rupa bisa terbentuk lantaran adanya win-win solution antara pelaku ekonomi dan salah satu atau lebih dari elite negara, bisa perencana dan pelaksana pembangunan (eksekutif), pembuat undang-undang (legislatif), atau penegak hukum (jaksa, polisi, atau hakim). 

Pelaku pasar tertentu diuntungkan serta mendapat privilege dan kekuasaan pasar karena mendapat dukungan dan perlindungan dari elite-elite negara. Keuntungan dari penguasaan pasar dibagikan kepada semua pihak yang terlibat. Fenomena ini kita kenal dengan terminologi economic rent seeking (perburuan rente ekonomi).

Ketika suatu kebijakan publik tidak menguntungkan mayoritas rakyat (konsumen atau produsen), hampir bisa dipastikan kebijakan itu dihadirkan untuk perburuan rente yang hanya menggendutkan pundi-pundi harta para pemburu rente.

E.     Kesimpulan
1.      sangat mungkin ada masalah yang cukup serius dari sisi tata niaga dan sisi akurasi data bawang putih sehingga terjadi lonjakan harga. Kekhawatiran masyarakat bahwa terjadi permainan harga di pasar karena permainan pasokan memang sangat beralasan. Bila kebutuhan bawang putih dalam negeri saat ini sebesar 95% benar dikuasai produk impor, yang dikuasai beberapa pemain, posisi tawar pengusaha menjadi sangat kuat. Kebijakan yang diambil pemerintah sangat mungkin tidak akan efektif bahkan dimentahkan karena kemampuan importir sangat besar untuk menolak pemberlakuan kebijakan baru yang akan mengurangi keuntungan mereka.

2.      Apalagi bila koordinasi antarkementerian sangat lemah sehingga para penguasa pasar dapat dengan mudah membelokkan kebijakan. Kondisi akan semakin buruk bila dibarengi dengan permainan birokrasi yang tidak transparan karena kepentingan finansial dan ekonomi pribadi dan kelompok. Kebijakan larangan impor hortikultura dari Kementerian Pertanian untuk mengurangi ketergantungan impor hortikultura agar memberi pasar bagi produk dalam negeri, misalnya, tidak mengherankan menjadi back fire bagi pemerintah karena tidak ada rencana kebijakan yang jelas, terintegrasi, dan saling dukung antara Kementerian Pertanian dan kementerian lain seperti Kemendag, Kemenkeu, serta lembaga Bulog dan BPPT.

F.     Rekomendasi
1.    Pemerintah harus mencari solusi atas kenaikan dan instabilitas beberapa komoditas pangan penting secara komprehensif dan berkelanjutan. Langkah jangka pendek dan jangka panjang dibuat dan keduanya harus berkaitan. Pemerintah juga harus segera memiliki database yang update dan terintegrasi tentang data produksi dan konsumsi bawang putih sehingga tidak ada perselisihan data antarkementerian. Bahkan tidak hanya data saat ini, tetapi juga tren permintaan dan pasokan dalam negeri beberapa tahun ke depan.

2.    Untuk solusi jangka pendek, apabila data menunjukkan saat ini produksi bawang putih tidak mencukupi kebutuhan nasional, kebijakan impor menjadi solusi yang tidak dapat terhindarkan. Namun, keputusan impor harus jelas tidak hanya dari sisi volume, tetapi juga waktu. Pada saat memutuskan membuka keran impor, itu harus sudah diikuti dengan rencana kebijakan peningkatan produksi dalam negeri yang komprehensif.  Peningkatan produk pertanian harus menjadi salah satu solusi tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan investasi, tetapi juga solusi untuk memberikan lapangan pekerjaan dengan penghidupan yang layak. Tentu dengan dukungan kebijakan dan program, tidak hanya subsidi.

3.    Penyelesaian masalah bawang putih dengan kebijakan komprehensif dan terintegrasi tidak hanya akan menyelesaikan masalah stabilitas harga jangka pendek, tetapi juga masalah-masalah struktural lainnya seperti penciptaan lapangan kerja, struktur industri pengolahan makanan yang kukuh, juga masalah stabilitas sosial politik



G.    Daftar Pustaka
8.    Deliarnov, Ekonomi Politik: Mencakup Berbagai Teori dan Konsep yang Komprehensif, 2006, Erlangga, Jakarta
9.    Darsosno, p., EKONOMI POLITIK GLOBALISASI: Kajian ekonomi politik, filsafat dan antropologi, 2006, Diadit, Jakarta
10. Arifin, Bustanul dan Rachbini, Didik J. (2001). Ekonomi Politik dan Kebijakan Publik. Jakarta: PT.Grasindo
11. Arifin, Bustanul (2005). Ekonomi Kelembagaan Pangan. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia
12. Baswir, Revrisond (2003). Di bawah Ancaman IMF. Jakarta: Koalisi Anti Utang (KAU) dan Pustaka Pelajar.

13. Chaniago, Andrinof A. (2001). Gagalnya Pembanguan: Kajian Ekonomi Politik Terhadap Akar Krisis Indonesia. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banner 125x125 dan 160x600