A.
Permasalahan
Setelah publik dipusingkan dengan harga daging, sekarang
ditambah dengan lonjakan harga bawang yang tidak terkendali, para pedagang
mengeluhkan kenaikan harga ini, terutama bawang putih yang naik sangat
fantastis sehingga menyebabkan omzet pedagang menurun secara signifikan.
Sebagaimana yang dikeluhkan Agus pedagang bawang sebuah pasar di Jakarta
Selatan karena menyebabkan konsumen membatasi pembelian bawang: “Naiknya terlalu
tinggi, menjadi Rp 45.000 (per kilogram) sampai Rp 50.000 (per kilogram),”
bahkan beberapa daerah naik sampai sekitar Rp 80.000 per kilogram.
Sementara itu, harga bawang merah yang semula Rp 8.000 per kilogram menjadi
sekitar Rp 25.000 atau bahkan Rp 40.000 setiap kilogram.
Anomali intervensi kebijakan yang tidak jelas visinya tampak
dari kebijakan pembatasan bawang putih yang diambil pemerintah. Sebagaimana
diketahui, mahalnya harga bawang saat ini merupakan konsekuensi dari
dibatasinya impor sebagai realisasi penerapan Peraturan Menteri Pertanian Nomor
60 Tahun 2012 tentang Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH). Permentan
tersebut menyatakan bahwa jumlah kuota impor tujuh komoditas hortikultura
dibatasi masuk ke Indonesia sampai 30 Juni 2013, dan bawang adalah salah
satunya.
Kebutuhan bawang di Indonesia sekitar 1,3 juta ton per tahun
sementara kemampuan produksi dalam negeri sekitar 30 persen dari total
kebutuhan tersebut, sehingga 70 persen sisanya harus diimpor dari
Thailand, Filipina, Vietnam dan Malaysia. Akan tetapi sejak
Januari hingga Juni 2013, Pemerintah mulai melakukan Pembatasan impor
berbagai komoditas yang diawali dengan pembatasan 13 komoditas hortikultura di
antaranya kentang, kubis, wortel dan cabai, pembatasan impor juga akan
diberlakukan terhadap berbagai komoditas lain secara bergantian.
Kebijakan tersebut diprotes berbagai kalangan terutama
negara-negara eksportir. Namun pemerintah tetap memberlakukan kebijakan
tersebut dengan alasan melindungi petani dan produk dalam negeri serta tidak
terus bergantung pada impor. Bagaimana mungkin bisa, produksi bawang domestik
yang hanya mampu memenuhi kebutuhan 5 persen nasional mensubstitusi 95 persen
kebutuhan nasional dari sumber impor.
Ada
dua hal yang dapat dilihat dari krisis bawang yang terjadi, yang pertama Kesalahan kebijakan dan berbelitnya aturan main
yang dibuat pemerintah dalam memenuhi kebutuhan harian masyarakat. Dan
kedua, pemerintah bermaksud membatasi
kuota impor agar menjadi insentif pendukung swasembada, kebijakan yang pro
rakyat. Namun harus dipahami masyarakat bahwa bawang adalah tanaman subtropis
yang bisa tumbuh bagus di dataran tinggi seperti daerah Berastagi Sumut atau di
kaki gunung Merapi. Tidak semua tempat cocok untuk menanam bawang. Swasembada
yang dilakukan tanpa menyiapkan diri tentu akan berakibat fatal pada banyak
aspek kehidupan masyarakat.
B.
Tujuan
Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana
kebijakan pembatasan impor yang diterapkan pemerintah terhadap produk bawang?
2. Bagaimana
dampak dari kebijakan pembatasan impor tersebut bagai petani bawang?
3. Bagaimana
dampak dari kebijakan pembatasan impor tersebut bagi masyarakat sebagai
konsumen?
C.
Tinjauan Pustaka
Ilmu ekonomi
dan ilmu politik terpisah dan saling lepas, tidak dalam satu kesatuan ilmu
humaniora. Ilmu ekonomi prinsipnya cocok untuk analisis kelembagaan pasar. Ilmu
sosial politik tumpul jika bersinggungan dengan instansi pasar sehingga perlu
dipertanyakan. Ekonomi politik selalu mengacu pada kepada interaksi antara
aspek ekonomi dan aspek politik yakni bagaimana pengaruh aspek politik terhadap
kebijakan ekonomi suatu negara.
Ilmu ekonomi politik menurut P Todaro: membahas hubungan politik dan ekonomi dengan tekanan pada peran kekuasaan dalam pengambilan keputusan ekonomi. Akibat dari adanya ekonomi politik tersebut terlihat pada beberapa pernyataan berikut:
1.
Proses
politik dan ekonomi tidak bisa dipisahkan. Ekonomi tentang fenomena kekayaan
dan politik kekuasaan saling mempengaruhi, politik menentukan kerangka kegiatan
ekonomi dan menyalurkannya kearah tertentu demi memenuhi kepentingan kelompok
dominan.
2.
Untuk
memahami peran penting Negara. Perspektif ekonomi politik menggambarkan dua
obyek penting yang interaksinya sangat menentukan arena politik, yaitu pasar dan
Negara. Mekanisme pasar dan struktur kekuasaan saling tergantung. Negara
menetapkan konteks bagi beroperasinya pasar. Dengan daya paksa, negara mengatur
pasar. Sebaliknya hukum pasar tidak bisa diabaikan. Ringkasnya, dalam proses
kebijakan mekanisme pasar dan struktur kekuasaan saling terkait. Kebijakan
publik adalah hasil dari interaksi antara “pasar” dan “negara”.
3.
Akibat
kelangkaan sumberdaya, tidak ada kebijakan politik yang bisa memuaskan semua
pihak secara optimal. Pasti ada pihak yang lebih diuntungkan dan yang lebih
dirugikan oleh suatu kebijakan pemerintah.
Ilmu ekonomi
dan ilmu politik memberikan perhatian pada pembentukan kebijakan, yaitu apakah
kebijakan tersebut menimbulkan surplus/deficit. Salah satu masalah ekonomi
yaitu sumber daya terbatas dan keinginan yang tidak terbatas.
Lima konsep
penting dalam ekonomi yaitu: 1) insentif ekonomi (kecenderung orang akan
mengikuti sesuatu hal yang memberikan keuntungan ekonomi), 2) Opportunity cost
(memilih nilai dari alternative terbaik), 3) Efisiensi ekonomi ( sumberdaya
dialokasikan untuk berproduksi pada titik optimal), 4) Marginalisme (aktivitas
ekonomi terus dilakukan apabila ada tambahan manfaat), dan 5) hasil makin
berkurang.
a. Ekonomi Politik Baru
Ekonomi
Politik Baru (EPB) atau New Political Economy yang kemudian popular dengan
sebutan “Rational Choice” (RC) dan “Public Choice (PC). Pendekatan EPB berbeda
dengan pendekatan klasik yang hanya menjangkau fenomena dan kelembagaan ekonomi
pasar. Dalam pendekatan EPB berusaha untuk memahami realitas politik dalam
bentuk-bentuk sikap sosial dalam kerangka analisis yang dianalogikan pada aktor
individual yang rasional. Pendekatan EPB bersifat liberal-individual, dalam hal
ini kepentingan individu jauh lebih penting dibandingkan dengan variabel-variabel
lainnya.
Pendekatan ini dapat diaplikasikan untuk berbagai fenomena ekonomi maupun politik: pemilihan umum, watak konsumen, tabiat petani pamakai air, sikap pemerintah dalam proses pengambilan keputusan bagi kebijakan public.
1. Pelaku Rasional (Popkin)
Petani
sebagai pelaku rasional yang memiliki dampak langsung bagi perekonomian suatu
negara, rasional dalam artian bahwa pengorbanan yang dikeluarkan lebih kecil
dan memperoleh lebih banyak keuntungan. Contoh-contoh protes massa petani
terhadap penetrasi kapitalisme, menurut Popkin, secara kolektif tidak ditujukan
untuk meletakkan basis kelembagaan prakapitalisme, tetapi lebih merupakan
tameng untuk menetralisasi dampak kapitalisme dan justru menghancurkan
feodalisme yang telah lama bercokol di pedesaan negara-negara Asia Tenggara.
2. Pasar dan Negara (Bates)
Bates
mengemukakan bahwa krisis pangan di Afrika Tropis terjadi karena kesalahan
kebijakan, pemerintah menetapkan harga pangan yang relatif rendah, tidak
menguntugkan petani. Sebagai respon, petani menggunakan pasar untuk menentang
kebijakan pemerintah dan protes tersembunyi. Petani menanam tanaman tidak
menguntungkan dan berduyun-duyun meninggalkan desa untuk menyerbu kota-kota.
3. Kelangkaan dan Pilihan
Rotchild dan
Curry melihat hubungan kepentingan public, kepentingan dan tujuan organisasi
kolektif. Masyarakat adalah pengambil sikap rasional. Sebagai contoh, kasus di
Afrika Tengah tentang usaha pemanfaatan sumber-ssumber ekonomi, yang terbatas
untuk dipakai dalam pengentasan kemiskinan secara efektif, jika masyarakat
tidak mengikuti kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah biasanya langsung
diklaim tidak bisa mengikutinya, padahal ada yang salah dari kebijakan
tersebut.
b. Teori Organisasi dan Tindakan Kolektif
Menurut Mancur Olson, jika ada pembonceng
gratis (free rider problem) maka organisasi tidak efisien dan biaya transaksi
tinggi. Pembonceng gratis disini maksudnya adalah orang-orang yang menikmati
dana pemerintah tanpa ada persyaratan yang jelas. Adapun berkembangnya
pembonceng gratis karena berlangsung dalam kelompok besar dimana setiap
individu tidak bisa mengontrol individu lainnya sehingga menyebabkan kelompok
makin tidak efektif.
Komoditas publik adalah komoditas yang tidak
bisa dikonsumsi secara individu tanpa berpengaruh apa pun terhadap
individu-individu lain di dalam kelompok. Komuditas publik secara relatif akan
semakin kecil ketika kelompok semakin besar. Manfaat komuditas publik akan
lebih sedikit diterima oleh anggota-anggota di dalamnya.
c.
Barang
Publik dan Barang Privat
Barang pribadi/publik (private goods) adalah
barang-barang yang ekskludabel dan rival. Barang yang produksi dan
penggunaannya dapat dipisahkan dari penggunaan oleh orang lain. Barang public
ini merupakan barang dan jasa yang sangat bermanfaat tetapi tidak disukai
produsen karena tidak menguntungkan. Barang seperti ini adalah barang yang
mengandung eksternalitas positif terlalu besar, yaitu barang yang pada dasarnya
akan menguntungkan banyak orang tetapi terlalu mahal apabila diproduksi oleh
suatu perusahaan. Sebagian besar barang yang ada di pasar adalah barang
pribadi. Saat kita menganalisis penawaran dan permintaan kita mengasumsikan
bahwa semua barang bersifat ekskludabel dan rival. Idealnya, negara menyediakan
barang publik dalam jumlah yang memadai.
Barang publik (public goods) adalah barang-barang yang tidak ekskludabel dan juga tidak rival. Artinya siapa saja tidak bisa mencegah untuk memanfaatkan barang ini, dan konsumsi seseorang atas barang ini tidak mengurangi peluang orang lain melakukan hal yang sama. Barang privat merupakan barang yang tidak bisa dikecualikan penggunaannya dari orang lain. Setiap orang dapat menikmatinya tanpa harus mengurangi kenikmatan orang lain, setiap orang memiliki akses yang sama ke barang tersebut. Contoh dari barang publik adalah jalan raya. Di mana setiap orang dapat menikmatinya tanpa harus berkompetisi dengan orang lain.
d. Rent Seeking & Public Choice
Transformasi konsep ekonomi klasik ke dalam
ekonomi politik. Ada tiga konsep pendapatan, yaitu:
1.
Profits
(keuntungan)
- Mempunyai resiko yang tinggi
- Sumber pendapatan utama
- Susah memprediksi apakah memperoleh untung atau tidak
- Sumber pendapatan utama
- Susah memprediksi apakah memperoleh untung atau tidak
2.
Wages (upah)
- Kadang-kadang tidak mempunyai resiko karena
upah itu pasti
- Biaya dari pelayanan
- Semakin produktif semakin proporsional
- Nilai individu
- Modal manusia
- Dibutuhkan talenta untuk mendapatkan upah
- Lebih mudah diperoleh dibanding profits
- Biaya dari pelayanan
- Semakin produktif semakin proporsional
- Nilai individu
- Modal manusia
- Dibutuhkan talenta untuk mendapatkan upah
- Lebih mudah diperoleh dibanding profits
3.
Rents (sewa)
- Uangnya untuk aset capital
- Lebih mudah diperoleh dibanding profits dan wages
- Tidak dibutuhkan kerja keras dan talenta
- Lebih mudah diperoleh dibanding profits dan wages
- Tidak dibutuhkan kerja keras dan talenta
Motivasi
jalan pintas tergampang dalam bisnis normal dengan income melalui rente (sewa)
tidak bermakna negative sepanjang aset yang disewakan merupakan hak miliknya
yang sah. Masalah muncul ketika motif ini pindah ke domain public, motivasi
rent seeking dilakukan dengan kekuatan kekuasaan untuk kelompok kepentingan
kecil, dan kekuasaan bukan aset milik sekelompok kecil tersebut tetapi milik
public atau rakyat banyak, serta kekuasaan dipakai oleh segelintir orang. Rent
seekers adalah pengusaha atau segelintir orang yang menggunakan kekuasaan (aset
publik) untuk dirinya secara inidividu.
D. Analisis
Pertanyaan awal yang harus dijawab ialah
apakah lonjakan harga dan hilangnya pasokan saat ini terjadi akibat kesenjangan
permintaan dan penawaran? Dari sisi permintaan, sangat mungkin ada pertumbuhan
permintaan bawang putih yang cukup besar secara persisten. Sebagaimana
diketahui, sejak beberapa tahun terakhir, industri pengolahan pangan tumbuh
relatif tinggi. Pada 2012, misalnya, data investasi portofolio sangat tinggi
untuk sektor barang-barang konsumsi termasuk industri makanan dan
restoran.
Data investasi langsung juga menunjukkan penanaman modal dalam negeri
(PMDN) yang paling tinggi terjadi pada industri makanan dengan porsi 12%,
hampir sama dengan investasi industri mineral dan logam.
Data produk domestik bruto (PDB) juga mengindikasikan pertumbuhan sektor
manufaktur yang relatif tinggi, yakni 5,9% pada tahun lalu, terutama didorong
pertumbuhan subsektor industri perdagangan, hotel dan restoran serta yang kedua
ialah pertumbuhan subsektor industri makanan. Pertumbuhan industri pengolahan
makanan, salah satunya, memang didorong pertumbuhan pengolahan crude
palm oil (CPO). Namun, industri pengolahan makanan lainnya juga tumbuh
cukup tinggi yang didorong kemunculan kelas menengah baru Indonesia yang sangat
pesat.
Menurut Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia, jumlah penduduk Indonesia
yang masuk kategori kelas menengah meningkat dari 45 juta jiwa pada 1998
menjadi 134 juta jiwa pada 2010. Namun, itu masih didominasi `kelas menengah
bawah', yakni penduduk dengan pengeluaran sebesar US$2-US$4 per kapita per hari
(sedikit di atas kategori miskin yang sebesar < US$2 per kapita per hari).
Kemunculan kelas menengah baru yang masuk kategori kelas me nengah bawah
akan ditandai dengan pertumbuhan tinggi pada produk-produk konsumsi terutama
konsumsi makanan. Artinya, dari sisi permintaan, sangat mungkin terjadi
pertumbuhan yang amat tinggi untuk komoditas bahan makanan seperti bawang
putih. Meski demikian, peningkatan permintaan yang terjadi berkat pertumbuhan
investasi dan konsumsi produk makanan tidak akan mendorong kenaikan harga
bawang putih yang sangat tinggi dan secara tiba-tiba.
Sebagaimana diberitakan, harga bawang putih yang semula hanya berkisar Rp15
ribu per kilogram (kg) tiba-tiba melesat menjadi Rp50 ribu per kg bahkan
mendekati Rp100 ribu per kg di beberapa kota. Lonjakan harga juga tidak akan
sedrastis saat ini meskipun terjadi masalah di sisi pasokan seperti
keterlambatan dikeluarkannya izin impor bawang putih.
Pembatasan kuota impor
bawang putih dalam perspektif kebijakan publik layak dipertanyakan, untuk siapa
kebijakan ini ditujukan? Pasti bukan untuk kepentingan masyarakat (konsumen)
pada umumnya. Sebagaimana diketahui, kebijakan ini telah berkontribusi
merugikan masyarakat. Khususnya masyarakat yang berpenghasilan tetap, terlebih
di kalangan masyarakat kecil, karena kenaikan harga pada Februari 2013 sewaktu
harga bawang putih sebesar Rp 26 ribu per kilogram saja telah memberi
kontribusi 0,12 persen dari 0,75 persen angka inflasi bulan tersebut. Tentu
kontribusinya terhadap inflasi akan menjadi lebih besar lagi ketika harga
mencapai angka Rp 100 ribu pada Maret ini.
Mengatakan kebijakan ini untuk menolong petani juga rasanya tidak bisa dibenarkan, mengapa? Kemampuan suplai domestik dalam memenuhi kebutuhan bawang putih domestik hanya 5 persen, sedangkan 95 persennya kita mengimpor. Angka itu menunjukkan bahwa petani yang terlibat di dalamnya sangat tidak berarti. Dan, umumnya petani yang menanam bawang putih bukan sebagai produk utamanya. Terlalu naif kalau alasan yang diajukan dari pembatasan impor bawang putih adalah ingin berpihak kepada petani.
Dalam keadaan jumlah petani bawang putih yang kecil tersebut, kalau memang pemerintah ingin menolong mereka, yang harus dilakukan bukan proteksi dalam bentuk intervensi harga output. Yang lebih tepat adalah intervensi untuk menekan biaya produksi petani melalui subsidi biaya produksi, seperti bantuan benih unggul serta membantu best practice budi daya dan teknologi pascapanen, sehingga produktivitas petani bawang putih lokal bisa meningkat, sedangkan harga pasar relatif stabil.
Mengatakan kebijakan ini untuk menolong petani juga rasanya tidak bisa dibenarkan, mengapa? Kemampuan suplai domestik dalam memenuhi kebutuhan bawang putih domestik hanya 5 persen, sedangkan 95 persennya kita mengimpor. Angka itu menunjukkan bahwa petani yang terlibat di dalamnya sangat tidak berarti. Dan, umumnya petani yang menanam bawang putih bukan sebagai produk utamanya. Terlalu naif kalau alasan yang diajukan dari pembatasan impor bawang putih adalah ingin berpihak kepada petani.
Dalam keadaan jumlah petani bawang putih yang kecil tersebut, kalau memang pemerintah ingin menolong mereka, yang harus dilakukan bukan proteksi dalam bentuk intervensi harga output. Yang lebih tepat adalah intervensi untuk menekan biaya produksi petani melalui subsidi biaya produksi, seperti bantuan benih unggul serta membantu best practice budi daya dan teknologi pascapanen, sehingga produktivitas petani bawang putih lokal bisa meningkat, sedangkan harga pasar relatif stabil.
sangat disayangkan jika alasan pemerintah mengeluarkan kebijakan pembatasan impor bawang putih adalah agar masyarakat konsumen bisa mendiversifikasi kebutuhan bawang putihnya dari semula bawang putih impor ke produksi dalam negeri.
Bawang putih merupakan
komoditas subtropis yang tidak cocok dengan iklim tropis Indonesia. Untuk
memproduksi dan mengembangkan secara besar-besaran, diperlukan introduksi
teknologi budi daya dan pascapanen yang tinggi. Padahal, di sisi lain, bawang
putih bukan produk yang mendapat perhatian pemerintah, baik dalam anggaran
pengembangan, bantuan teknologi budi daya, maupun pascapanen. Dengan demikian,
sangat aneh kalau kemudian berharap bawang putih lokal bisa menggeser bawang
putih impor.
Kecurigaan yang muncul
adalah motif berburu rente di balik lahirnya kebijakan ini. Kebijakan ini hanya
menguntungkan segelintir pelaku ekonomi yaitu importir. Karut-marut kebijakan
pembatasan impor telah menyebabkan harga bawang putih di pasar naik hingga Rp
100 ribu per kilogram sementara mereka membeli bawang putih dengan harga setara
Rp 13 ribu per kilogram dari Cina, sebagai negara pemasok terbesar bawang impor
(90-95 persen).
Saat ini, untuk menekan harga bawang putih secara signifikan, para importir diminta pemerintah menjual dengan harga Rp 30 ribu per kilogram ke pedagang besar. Sebagai komparasi tahun lalu, kita mengimpor 410.100 ton bawang putih dari Cina. Dengan angka impor yang sedemikian, kebijakan pembatasan impor ini telah melahirkan rente ekonomi ke tangan importir Rp 17 ribu per kilogram atau sekitar Rp 6,9 triliun.
Rente ekonomi yang sangat besar tercipta karena masuknya kekuatan destruktif ke pasar. Penyebab hadirnya kekuatan destruktif dalam pasar adalah ketika pelaku pasar kongkalikong dengan kekuatan di luar pasar, khususnya pengambil kebijakan penting negara, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.
Kekuasaan pasar yang sedemikian rupa bisa terbentuk lantaran adanya win-win solution antara pelaku ekonomi dan salah satu atau lebih dari elite negara, bisa perencana dan pelaksana pembangunan (eksekutif), pembuat undang-undang (legislatif), atau penegak hukum (jaksa, polisi, atau hakim).
Pelaku pasar tertentu diuntungkan serta mendapat privilege dan kekuasaan pasar karena mendapat dukungan dan perlindungan dari elite-elite negara. Keuntungan dari penguasaan pasar dibagikan kepada semua pihak yang terlibat. Fenomena ini kita kenal dengan terminologi economic rent seeking (perburuan rente ekonomi).
Ketika suatu kebijakan publik tidak menguntungkan mayoritas rakyat (konsumen atau produsen), hampir bisa dipastikan kebijakan itu dihadirkan untuk perburuan rente yang hanya menggendutkan pundi-pundi harta para pemburu rente.
E.
Kesimpulan
1. sangat mungkin ada
masalah yang cukup serius dari sisi tata niaga dan sisi akurasi data bawang
putih sehingga terjadi lonjakan harga. Kekhawatiran masyarakat bahwa terjadi
permainan harga di pasar karena permainan pasokan memang sangat beralasan. Bila
kebutuhan bawang putih dalam negeri saat ini sebesar 95% benar dikuasai produk
impor, yang dikuasai beberapa pemain, posisi tawar pengusaha menjadi sangat
kuat. Kebijakan yang diambil pemerintah sangat mungkin tidak akan efektif
bahkan dimentahkan karena kemampuan importir sangat besar untuk menolak
pemberlakuan kebijakan baru yang akan mengurangi keuntungan mereka.
2. Apalagi bila koordinasi
antarkementerian sangat lemah sehingga para penguasa pasar dapat dengan mudah
membelokkan kebijakan. Kondisi akan semakin buruk bila dibarengi dengan
permainan birokrasi yang tidak transparan karena kepentingan finansial dan
ekonomi pribadi dan kelompok. Kebijakan larangan impor hortikultura dari
Kementerian Pertanian untuk mengurangi ketergantungan impor hortikultura agar
memberi pasar bagi produk dalam negeri, misalnya, tidak mengherankan
menjadi back fire bagi pemerintah karena tidak ada rencana
kebijakan yang jelas, terintegrasi, dan saling dukung antara Kementerian
Pertanian dan kementerian lain seperti Kemendag, Kemenkeu, serta lembaga Bulog
dan BPPT.
F.
Rekomendasi
1. Pemerintah harus mencari
solusi atas kenaikan dan instabilitas beberapa komoditas pangan penting secara
komprehensif dan berkelanjutan. Langkah jangka pendek dan jangka panjang dibuat
dan keduanya harus berkaitan. Pemerintah juga harus segera memiliki database
yang update dan terintegrasi tentang data produksi dan konsumsi bawang putih
sehingga tidak ada perselisihan data antarkementerian. Bahkan tidak hanya data
saat ini, tetapi juga tren permintaan dan pasokan dalam negeri beberapa tahun
ke depan.
2. Untuk solusi jangka
pendek, apabila data menunjukkan saat ini produksi bawang putih tidak mencukupi
kebutuhan nasional, kebijakan impor menjadi solusi yang tidak dapat terhindarkan.
Namun, keputusan impor harus jelas tidak hanya dari sisi volume, tetapi juga
waktu. Pada saat memutuskan membuka keran impor, itu harus sudah diikuti dengan
rencana kebijakan peningkatan produksi dalam negeri yang komprehensif. Peningkatan produk pertanian harus menjadi
salah satu solusi tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan investasi,
tetapi juga solusi untuk memberikan lapangan pekerjaan dengan penghidupan yang
layak. Tentu dengan dukungan kebijakan dan program, tidak hanya subsidi.
3. Penyelesaian masalah
bawang putih dengan kebijakan komprehensif dan terintegrasi tidak hanya akan
menyelesaikan masalah stabilitas harga jangka pendek, tetapi juga
masalah-masalah struktural lainnya seperti penciptaan lapangan kerja, struktur
industri pengolahan makanan yang kukuh, juga masalah stabilitas sosial politik
G.
Daftar Pustaka
8.
Deliarnov, Ekonomi Politik: Mencakup Berbagai
Teori dan Konsep yang Komprehensif, 2006, Erlangga, Jakarta
9.
Darsosno, p., EKONOMI
POLITIK GLOBALISASI: Kajian ekonomi politik, filsafat dan antropologi, 2006,
Diadit, Jakarta
10.
Arifin, Bustanul dan
Rachbini, Didik J. (2001). Ekonomi Politik dan Kebijakan Publik. Jakarta:
PT.Grasindo
11.
Arifin, Bustanul (2005).
Ekonomi Kelembagaan Pangan. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia
12.
Baswir, Revrisond (2003). Di
bawah Ancaman IMF. Jakarta: Koalisi Anti Utang (KAU) dan Pustaka Pelajar.
13.
Chaniago, Andrinof A.
(2001). Gagalnya Pembanguan: Kajian Ekonomi Politik Terhadap Akar Krisis
Indonesia. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar