DEWAN PERWAKILAN DAERAH
REPUBLIK
INDONESIA
-------------
BAGIAN KEDUA
RANCANGAN UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR.... TAHUN.....
TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG –UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 39 TAHUN 2004
TENTANG
PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN
TENAGA KERJA INDONESIA DI LUAR NEGERI
Jakarta, 2011
RANCANGAN UNDANG-UNDANG
|
PENJELASAN
|
|||
|
|
|||
|
|
|
DEWAN PERWAKILAN DAERAH
REPUBLIK INDONESIA
RANCANGAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR.... TAHUN.....
TENTANG
PERUBAHAN ATAS
UNDANG -UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2004 TENTANG
PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN TENAGA KERJA INDONESIA DI LUAR NEGERI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
|
PENJELASAN
RANCANGAN
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR.... TAHUN.....
TENTANG
PERUBAHAN ATAS
UNDANG -UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39
TAHUN 2004
TENTANG
PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN TENAGA KERJA
INDONESIA
DI LUAR NEGERI
DENGAN RAHMAT
TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
|
|
|
|
|
I. Umum
|
Menimbang
|
:
|
a.
|
bahwa negara wajib menjamin dan
melindungi hak asasi warga negaranya yang bekerja baik di dalam maupun di
luar negeri berdasarkan prinsip kemanusiaan, persamaan hak, demokrasi,
keadilan sosial, kesetaraan dan keadilan gender, anti diskriminasi, dan anti perdagangan
manusia;
|
Penempatan Tenaga Kerja Indonesia
di Luar Negeri sesungguhnya adalah salah satu usaha pemerintah Republik
Indonesia untuk memberikan perlindungan terhadap hak atas pekerjaan warga
negaranya. Hal ini terpaksa dikeluarkan oleh pemerintah, mengingat kondisi
akan keterbatasan lowongan kerja di dalam negeri. Kebijakan ini pun disambut
oleh masyarakat, terbukti dengan banyaknya animo masyarakat yang tertarik
untuk mengadu nasib mencari pekerjaan di luar negeri.
Selama ini, peraturan
perundang-undangan yang menjadi dasar acuan penempatan dan perlindungan
terhadap TKI adalah Undang-undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan
Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Sayangnya, keberadaan
Undang-Undang tersebut masih belum memberikan perlindungan yang berarti bagi
Tenaga Kerja Indonesia. Para Tenaga Kerja Indonesia masih sering dijadikan
obyek perdagangan manusia, termasuk perbudakan dan kerja paksa, korban
kekerasan, kesewenang-wenangan, kejahatan atas harkat dan martabat menusia,
serta perlakuan lain yang melanggar hak asasi manusia. Masih banyak ditemukan
secara masif kasus-kasus yang dialami oleh TKI sejak proses perekrutan di daerahnya
masing-masing, hingga dalam proses pendidikan dan pelatihan, pemeriksaan
kesehatan dan psikologi, pemberangkatan dan pengurusan dokumen, hingga
perlakuan yang tidak manusiawi yang dialami TKI di negara tujuan. Masyarakat
secara umum memberikan perhatian besar terhadap kasus penganiayaan yang
dialami TKI di luar negeri dan kesulitan yang dialami oleh TKI dalam proses
hukum yang terjadi di negara tujuan. Namun sesungguhnya, kasus-kasus tersebut
merupakan kulminasi dari permasalahan yang sudah timbul sejak proses awal
penempatan. Demikian, perubahan terhadap Undang-undang Nomor 39 Tahun 2004
tentang Penempatan dan Perlindungan terhadap Tenaga Kerja Indonesia di Luar
Negeri perlu mencakup seluruh aspek prosedur dan penempatan.
Perekrutan menjadi titik awal
mengingat pada tahap ini terjadi seleksi terhadap TKI yang dapat dikirim ke
luar negeri. Gagasan utama dalam perubahan terhadap Undang-undang Nomor 39
Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan terhadap Tenaga Kerja
Indonesia di Luar Negeri adalah mewujudkan politik ketenagakerjaan yang
didorong oleh visi untuk menciptakan
tenaga kerja Indonesia di luar negeri yang terdidik, terampil, dan mampu
bersaing pada tingkat global. Keleluasaan yang dimiliki oleh Pelaksana
Penempatan TKI Swasta, yang diikuti dengan lemahnya pengawasan dan sanksi
dari lembaga-lembaga yang berwenang, menyebabkan penempatan TKI lebih
terfokus pada TKI yang tidak terdidik, tidak terampil, dan lebih banyak
mencakup sektor informal. Di sisi lain, peran pemerintah daerah dalam penyelenggaraan
penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri masih sangat terbatas.
Padahal, banyak permasalahan yang disebabkan oleh lemahnya peran pemerintah
daerah dalam melakukan administrasi, pengawasan, dan pembinaan atas TKI,
serta ketiadaan kewenangan daerah untuk membina dan menjamin kualitas calon
TKI yang berasal dari daerahnya masing-masing.
Atas dasar tersebut, gagasan yang
didorong dalam Perubahan atas Undang-undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang
Penempatan dan Perlindungan terhadap Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri
adalah mengikutsertakan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pendidikan
dan pelatihan yang sebelumnya hanya dimiliki oleh Pelaksana Penempatan TKI
Swasta atau lembaga pelatihan kerja. Hal ini dimaksudkan untuk menguatkan peran
pemerintah dan pemerintah daerah dalam mendorong secara nyata kualitas calon
TKI.
Setelah TKI dengan kualitas dan
kompetensi yang layak berhasil dihimpun, hal selanjutnya adalah memastikan
bahwa para TKI tersebut hanya dapat ditempatkan pada negara-negara tujuan
yang memiliki perangkat hukum yang dipandang memadai dan sesuai dengan
prinsip-prinsip kemanusiaan dan hak asasi manusia yang diakui secara
internasional. Berdasarkan praktek yang terjadi selama ini, pemerintah dapat
melihat negara mana saja yang secara nyata memberikan perlindungan dan
menghormati hak-hak TKI dalam sistem hukumnya, serta negara mana saja yang
membiarkan terjadinya pelanggaran hak-hak hukum dan tindakan manusiawi
terjadi terhadap TKI di yurisdiksinya. Oleh karena itu, perlu dilakukan
pengaturan untuk memastikan bahwa negara tujuan menunjukan itikad baik dan
tindakan nyata untuk menjamin perlindungan terhadap TKI, dengan tetap
menghormati yuridiksi dari masing-masing negara yang berdaulat sebagaimana
diatur dalam hukum internasional.
Pemberdayaan dan penguatan
perlindungan terhadap TKI juga dapat dilakukan melalui peningkatan kapasitas
lembaga-lembaga yang berwenang dalam mengatur, membina, mengawasi,
melaksanakan setiap tahap dalam penyelenggaraan penempatan dan perlindungan
tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Lembaga-lembaga tersebut adalah
pemerintah (melalui menteri yang menangani bidang ketenagakerjaan), Badan
Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI, Balai Pelayanan Penempatan dan
Perlindungan TKI, serta perwakilan Republik Indonesia di negara tujuan
penempatan. Hal pertama yang dilakukan adalah melakukan penataan dan
pembagian kewenangan dan tanggung jawab agar masing-masing dapat menjalankan
tugas dan fungsi tanpa adanya tumpang-tindih kewenangan. Selanjutnya,
lembaga-lembaga tersebut harus diberikan peran perlindungan yang lebih besar,
dan tidak hanya berfokus pada penempatan.
Diharapkan
dengan perubahan pengaturan mengenai
penempatan dan perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri ini, akan
tercipta mekanisme penempatan dan perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar
Negeri dengan lebih baik lagi.
|
|
|
b.
|
bahwa UU Nomor 39 Tahun 2004
tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri
sudah berlaku dan diterapkan, tetapi belum mampu menyelesaikan masalah tenaga
kerja Indonesia di luar negeri yang masih sering dijadikan obyek perdagangan
manusia, termasuk perbudakan dan kerja paksa, korban kekerasan,
kesewenang-wenangan, kejahatan atas harkat dan martabat menusia, serta
perlakuan lain yang melanggar hak asasi manusia;
|
|
|
|
c.
|
bahwa memandang perlu peningkatan kewenangan pemerintah
daerah dalam penyelenggaraan penempatan dan perlindungan Tenaga Kerja
Indonesia di luar negeri, mengingat banyaknya permasalahan yang disebabkan
oleh lemahnya kewenangan pemerintah daerah dalam melakukan administrasi,
pengawasan dan pembinaan atas Tenaga Kerja Indonesia; serta kurangnya
kewenangan daerah untuk membina dan menjamin kualitas calon tenaga kerja
Indonesia yang berasal dari daerahnya masing-masing;
|
|
|
|
d.
|
bahwa berdasarkan petimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk undang-undang tentang
perubahan atas Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan
Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri;
|
|
|
|
|
|
|
Mengingat
|
:
|
1.
|
Pasal
20, Pasal 22 D ayat (1), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28 D ayat (1) dan ayat (2),
Pasal 28 E ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
|
|
|
|
2.
|
Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor
39, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4279);
|
|
|
|
3.
|
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan
Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4445 );
|
|
|
|
4.
|
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011
tentang Keimigrasian ( Lembaran Negara Tahun 2011 Nomor 52 Tambahan Lembaran
NegaraNomor 5216 );
|
|
Dengan
Persetujuan Bersama
DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
|
|
|||
Menetapkan
|
:
|
UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39
TAHUN 2004 TENTANG PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN TENAGA KERJA INDONESIA DI LUAR
NEGERI.
|
|
|
|
II. Pasal per- pasal
|
|||
Pasal
I
|
Pasal I
|
|||
Beberapa
ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 Tentang
Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4445) diubah sebagai berikut:
|
|
1. Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
|
Angka 1
|
|
|
Pasal 1
|
Pasal 1
|
|
Cukup jelas
|
Dalam
undang-undang ini yang dimaksud dengan:
|
|
|
|
1.
Tenaga Kerja
Indonesia yang selanjutnya disebut dengan TKI adalah setiap warga negara
Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri dalam hubungan
kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah.
|
|
2.
Calon Tenaga Kerja Indonesia yang
selanjutnya disebut calon TKI adalah setiap warga negara Indonesia yang
memenuhi syarat sebagi pencari kerja yang akan bekerja di luar negeri dan
terdaftar di instansi pemerintah kabupaten/kota yang bertanggungjawab di
bidang ketenagakerjaan.
|
|
3.
Penempatan TKI
adalah kegiatan pelayanan untuk mempertemukan TKI sesuai bakat, minat, dan
kemampuannya dengan pemberi kerja di luar negeri yang meliputi keseluruhan
proses perekrutan, pengurus dokumen, pendidikan dan pelatihan, penampungan,
persiapan pemberangkatan, pemberangkatan sampai ke negara tujuan, dan
pemulangan dari negara tujuan.
|
|
4.
Perlindungan
TKI adalah segala upaya untuk memberikan jaminan rasa aman, bebas dari
kekerasan, diskriminasi, dan pelanggaran hak-hak calon TKI/TKI baik sebelum,
selama, maupun sesudah bekerja.
|
|
5.
Pelaksana
penempatan TKI swasta adalah badan hukum yang telah memperoleh izin tertulis
dari Pemerintah untuk menyelenggarakan pelayanan penempatan TKI di luar
negeri.
|
|
6.
Mitra usaha
adalah instansi atau badan usaha berbentuk badan hukum di negera tujuan yang
bertanggung jawab menempatkan TKI pada pengguna.
|
|
7.
Pengguna Jasa
TKI yang selanjutnya disebut dengan Pengguna adalah instansi Pemerintah,
Badan Hukum Pemerintah, Badan Hukum Swasta, dan/atau Perseorangan di negara
tujuan yang mempekerjakan TKI.
|
|
8.
Perjanjian
Kerja Sama Penempatan adalah perjanjian tertulis antara Pelaksana Penempatan
TKI swasta dengan mitra Usaha atau Pengguna yang memuat hak dan kewajiban
masing- masing pihak dalam rangka penempatan serta perlindungan TKI di negara
tujuan.
|
|
9.
Perjanjian
Penempatan TKI adalah perjanjian tertulis antara pelaksana penempatan TKI
swasta dengan calon TKI yang memuat hak dan kewajiban masing-masing pihak
dalam rangka penempatan TKI di negara tujuan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
|
|
10. Perjanjian Kerja adalah perjanjian
tertulis antara TKI dengan Pengguna yang memuat syarat- syarat kerja, hak dan
kewajiban masing-masing pihak.
|
|
11. Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri yang
selanjutnya disebut dengan KTKLN adalah kartu identitas bagi TKI yang
memenuhi persyaratan dan prosedur untuk bekerja di luar negeri.
|
|
12. Visa Kerja adalah izin tertulis
yang diberikan oleh pejabat yang berwenang pada perwakilan
suatu negara
yang memuat persetujuan untuk masuk dan melakukan pekerjaan di negara yang
bersangkutan.
|
|
13. Surat Izin Pelaksana Penempatan TKI
yang selanjutnya disebut SIPPTKI adalah izin tertulis yang diberikan oleh
Menteri kepada Perusahaan yang akan menjadi pelaksana penempatan TKI swasta.
|
|
14. Surat Izin Pengerahan yang
selanjutnya disebut SIP adalah izin yang diberikan Pemerintah kepada
pelaksana penempatan TKI swasta untuk merekrut calon TKI dari daerah tertentu
untuk jabatan tertentu, dan untuk dipekerjakan kepada calon Pengguna tertentu
dalam jangka waktu tertentu.
|
|
15. Orang adalah pihak orang
perseorangan atau badan hukum.
|
|
16. Pemerintah Pusat, yang selanjutnya
disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang
kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
|
|
17. Menteri adalah Menteri yang tugas
dan tanggungjawabnya di bidang ketenagakerjaan.
|
|
|
|
|
|
2.
Di antara Bab
III dan Bab IV disisipkan 1 (satu) bab baru, yakni Bab III A, berikut dengan
penambahan dua pasal baru, yakni Pasal 9 A dan Pasal 9 B, sehingga
keseluruhan Bab III A berbunyi sebagai berikut:
|
Angka 2
|
|
|
BAB III A
|
|
HAK ANGGOTA KELUARGA
|
|
|
|
Pasal 9A
|
Pasal 9A
|
|
Cukup jelas
|
Anggota
keluarga TKI berhak:
|
|
a.
memperoleh laporan berkala dan/atau
laporan insidental dari pelaksana penempatan TKI swasta dan/atau BNP2TKI
mengenai status dan kondisi dari TKI;
|
|
b.
memperoleh salinan atas semua
dokumen yang dimiliki dan/atau diurus oleh TKI sebagaimana diatur dalam
Undang-undang ini dan peraturan pelaksananya, serta yang dipersyaratkan oleh
negara tujuan; dan
|
|
c.
memperoleh fasilitas pemulangan
jenazah TKI tanpa dikenakan biaya,
disertai hak-hak TKI dalam hubungan kerja dari TKI yang meninggal dunia.
|
|
|
|
Pasal
9B
|
Pasal 9B
|
|
Cukup jelas
|
(1)
Dalam hal terjadi dugaan
pelanggaran terhadap hak-hak TKI sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini,
anggota keluarga TKI untuk dan atas nama TKI berhak:
|
|
a.
mengajukan pengaduan dan meminta
pemenuhan hak dan pelayanan kepada BNP2TKI;
|
|
b.
mengajukan pengaduan kepada Menteri
sebagai bahan pertimbangan Menteri dalam menjatuhkan sanksi;
|
|
c.
mengajukan gugatan perdata terhadap
pelaksana penempatan TKI swasta atau pihak lain yang dianggap terkait; dan
|
|
d.
memberikan laporan pidana dalam hal
terjadi dugaan tindak pidana terhadap TKI.
|
|
|
|
(2)
Pemenuhan hak-hak anggota keluarga
TKI sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dibiayai oleh negara berdasarkan
peraturan perundang-undangan terkait di bidang bantuan hukum.
|
|
|
|
Pasal
9C
|
Pasal 9C
|
|
Cukup jelas
|
(1)
Hak-hak anggota keluarga TKI
sebagaimana dimaksud pada Pasal 9 A dan Pasal 9 B hanya diberikan kepada
suami, istri, anak, dan/atau orang tua dari TKI.
|
|
(2)
Dalam hal seluruh anggota keluarga
TKI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meninggal dunia atau tidak diketahui
keberadaannya, hak-hak tersebut dapat diberikan kepada anggota keluarga TKI
lainnya, sepanjang memiliki hubungan kekeluargaan yang dapat dibuktikan
dengan dokumen yang sah.
|
|
|
|
3.
Ketentuan Pasal 21 ayat (1) dan
ayat (3) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 21 berbunyi sebagai berikut:
|
Angka 3
|
Pasal 21
|
Pasal 21
|
|
Cukup jelas
|
(1)
Pelaksana penempatan TKI swasta
wajib membentuk kantor cabang di daerah perekrutan, kecuali di dalam wilayah
domisili kantor pusatnya.
|
|
(2)
Kegiatan yang dilakukan oleh kantor
cabang pelaksana penempatan TKI swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
menjadi tanggung jawab kantor pusat pelaksana penempatan TKI swasta.
|
|
(3)
Ketentuan mengenai tata cara
pembentukan kantor cabang pelaksana penempatan TKI swasta sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Presiden.
|
|
|
|
4.
Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga
berbunyi sebagai berikut:
|
Angka 4
|
|
|
Pasal 22
|
Pasal
22
|
|
Cukup
jelas
|
Kantor cabang yang dibentuk oleh pelaksana
penempatan TKI swasta mempunyai kewenangan:
|
|
a.
melakukan
penyuluhan dan pendataan calon TKI;
|
|
b.
melakukan
pendaftaran dan seleksi calon TKI;
|
|
c.
menyelesaikan
kasus calon TKI/TKI pada pra atau purna penempatan; dan
|
|
d.
menandatangani
perjanjian penempatan dengan calon TKI atas nama pelaksana penempatan TKI
swasta.
|
|
|
|
|
|
5.
Ketentuan Pasal 27 ayat (1) diubah, sehingga
keseluruhan Pasal 27 berbunyi sebagai berikut:
|
Angka 5
|
|
|
Pasal 27
|
Pasal 27
|
|
Cukup
jelas
|
(1)
Penempatan
TKI di luar negeri hanya dapat dilakukan ke negara tujuan sebagai berikut:
|
|
a.
negara
yang telah memiliki perjanjian bilateral dengan Pemerintah Republik Indonesia
mengenai perlindungan TKI;
|
|
b.
negara
yang telah menandatangani dan meratifikasi perjanjian internasional yang
memberikan perlindungan hukum terhadap TKI yang memadai sesuai dengan
prinsip-prinsip hak asasi manusia; atau
|
|
c.
negara
yang sistem hukumnya dipandang telah efektif mengakomodasi prinsip-prinsip
perlindungan terhadap TKI yang memadai
sesuai dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia.
|
|
(2)
Berdasarkan
pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau pertimbangan
keamanan, Presiden menetapkan negara-negara tertentu yang tertutup bagi
penempatan TKI dengan Keputusan Presiden.
|
|
|
|
6.
Pasal
32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
Angka 6
|
|
|
|
|
Pasal 32
|
Pasal 32
|
|
Cukup jelas
|
(1)
Pelaksana penempatan TKI swasta
yang akan melakukan perekrutan wajib memiliki SIP dari pemerintah
kabupaten/kota pada daerah perekrutan.
|
|
(2)
Untuk
mendapatkan SIP, pelaksana penempatan TKI swasta harus memiliki:
|
|
a.
perjanjian kerjasama penempatan;
|
|
b.
surat
permintaan TKI dari Pengguna;
|
|
c.
rancangan perjanjian penempatan;
dan
|
|
d.
rancangan perjanjian kerja.
|
|
(3)
Surat permintaan TKI dari Pengguna
perjanjian kerja sama penempatan, dan rancangan perjanjian kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf d harus memperoleh
persetujuan dari pejabat yang berwenang pada Perwakilan Republik Indonesia di
negara tujuan.
|
|
(4)
Tata cara penerbitan dan pencabutan
SIP diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
|
|
|
|
7.
Ketentuan
Pasal 41 ayat (2) dihapus, sehingga keseluruhan Pasal 41 berbunyi sebagai
berikut:
|
Angka 7
|
|
|
Pasal
41
|
Pasal
41
|
|
Cukup jelas
|
Calon TKI wajib memiliki sertifikat kompetensi kerja
sesuai dengan persyaratan kompetensi pekerjaannya.
|
|
|
|
8.
Pasal
43 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
Angka 8
|
|
|
Pasal
43
|
Pasal 43
|
(1)
Pendidikan dan
pelatihan kerja dilaksanakan oleh:
|
Cukup jelas
|
a.
Pemerintah;
|
|
b.
Pemerintah daerah; atau
|
|
c.
Pelaksana penempatan TKI swasta
atau lembaga pelatihan kerja yang memenuhi persyaratan.
|
|
(2)
Pendidikan dan pelatihan kerja
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pendidikan dan pelatihan
kerja.
|
|
(3)
Materi pendidikan dan pelatihan
kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain mencakup:
|
|
a.
hak dan
kewajiban TKI;
|
|
b.
hubungan
kerja;
|
|
c.
kesehatan;
|
|
d.
teknik
keahlian dan keterampilan sektoral;
|
|
e.
teknik
pengenalan dan pengembangan diri;
|
|
f.
kemampuan bahasa negara tujuan;
|
|
g.
situasi dan
kondisi sosial budaya negara tujuan; dan
|
|
h.
sistem hukum
negara tujuan.
|
|
(4)
Ketentuan
mengenai penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan kerja sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
|
|
|
|
9.
Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
Angka 9
|
|
|
Pasal 44
|
Pasal 44
|
|
|
Calon TKI
memperoleh pengakuan kompetensi kerja setelah mengikuti pendidikan dan
pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43, dalam bentuk sertifikat
kompetensi dari lembaga pendidikan dan pelatihan yang telah terakreditasi
oleh instansi yang berwenang.
|
Sertifikasi
kompetensi kerja diberikan oleh lembaga yang terakreditasi secara
internasional atau nasional dalam tiap-tiap lingkup profesi. Lembaga yang
memiliki akreditasi nasional wajib memenuhi persyaratan dan mendapatkan
lisensi sebagai lembaga sertifikasi profesi sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang-undangan mengenai sertifikasi kompetensi kerja.
Pemerintah dan pemerintah daerah membina dan memfasilitasi peran aktif dari
universitas atau perguruan tinggi terutama yang berada pada wilayah perekrutan
untuk mendapatkan lisensi sertifikasi profesi atas bidang-bidang kompetensi
yang dibutuhkan oleh TKI pada daerah tersebut.
|
|
|
10.
Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
Angka
10
|
|
|
Pasal
49
|
Pasal 49
|
|
Cukup jelas
|
(1)
Setiap calon TKI harus mengikuti
pemeriksaan kesehatan dan psikologi yang diselenggarakan oleh sarana
kesehatan dan lembaga yang menyelenggarakan pemeriksaan psikologi yang
ditunjuk oleh Pemerintah.
|
|
|
|
(2)
Pemeriksaan
kesehatan dan psikologi dilakukan di
daerah perekrutan pada kabupaten/kota asal calon TKI.
|
|
(3)
Ketentuan mengenai mekanisme
penyelenggaraan pemeriksaan kesehatan dan psikologi bagi calon TKI
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan ayat (2) diatur lebih lanjut dalam
Peraturan Pemerintah.
|
|
|
|
11.
Di
antara Pasal 70 dan Pasal 71 disisipkan satu pasal baru, yakni Pasal 71 A yang
berbunyi sebagai berikut:
|
Angka
11
|
|
|
Pasal 71A
|
Pasal 71A
|
|
|
(1)
Pelaksana Penempatan TKI Swasta
wajib menyerahkan laporan berkala setiap 3 (tiga) bulan kepada BNP2TKI
mengenai kondisi dan keberadaan TKI yang ditempatkan.
|
Ayat (1)
Cukup jelas
|
(2)
Pelaksana Penempatan TKI Swasta
wajib menyerahkan laporan insidental kepada BNP2TKI selambat-lambatnya 5
(lima) hari kerja setelah mengetahui terjadinya perubahan atau kondisi
sebagai berikut:
|
Ayat (2)
Cukup
jelas
|
|
|
a.
perubahan identitas Pengguna
|
|
b.
perubahan identitas Mitra Usaha,
jika ada;
|
|
c.
perubahan alamat dan nomor kontak
Pengguna;
|
|
d.
perubahan alamat dan nomor kontak Mitra Usaha;
|
|
e.
perubahan atas ketentuan dalam
perjanjian kerja;
|
|
f.
perubahan atas ketentuan dalam
perjanjan penempatan; atau
|
|
g.
keterlibatan TKI dalam proses
hukum pada negara tujuan.
|
|
(3)
Laporan
berkala dan laporan insidental sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat
(2) ditembuskan kepada:
|
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “laporan insidental” adalah
laporan yang dibuat pada waktu tertentu saja dalam hal terjadi situasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 A ayat (2).
|
a.
Perwakilan
Republik Indonesia di negara tujuan; dan
|
|
b.
Pemerintah
kabupaten/kota pada daerah asal TKI.
|
|
(4)
Laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) wajib mencantumkan
tanda-tangan dari masing-masing TKI yang namanya tercantum dalam laporan
tersebut.
|
Ayat (4)
Cukup jelas
|
(5)
Anggota
keluarga TKI berhak mendapatkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2), ayat (3) dan ayat (4).
|
Ayat (5)
Cukup jelas
|
|
|
12.
Ketentuan Pasal 80 ayat (1) diubah, sehingga
keseluruhan Pasal 80 berbunyi sebagai berikut:
|
Angka 12
|
|
|
Pasal
80
|
Pasal 80
|
|
Cukup jelas
|
(1)
Perlindungan selama masa penempatan
TKI di luar negeri dilaksanakan antara lain:
|
|
a. pemberian bantuan hukum sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di negara tujuan serta hukum dan kebiasaan
internasional;
|
|
b.
pembelaan
terhadap hak-hak TKI sesuai dengan perjanjian kerja dan/atau peraturan
perundang-undangan pada negara tujuan;
|
|
c.
membantu dan
memfasilitasi pemberian pelayanan kesehatan dan rumah perlindungan bagi TKI
yang bermasalah; dan
|
|
d.
melakukan
pengawasan dan pemantauan secara berkala terhadap status dan kondisi TKI pada
Mitra Usaha atau Pengguna di negara penempatan.
|
|
(2)
Ketentuan
mengenai pemberian perlindungan selama masa penempatan TKI di luar negeri
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
|
|
|
|
13.
Pasal 95 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
Angka
13
|
|
|
Pasal 95
|
Pasal 95
|
|
Cukup jelas
|
(1)
Badan
Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94
mempunyai fungsi pelaksanaan kebijakan di bidang penempatan dan perlindungan
TKI di luar negeri secara terkoordinasi dan terintegrasi.
|
|
(2)
Untuk
melaksanakan fungsi penempatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan
Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI bertugas:
|
|
a.
melakukan
penempatan atas dasar perjanjian secara tertulis antara Pemerintah dengan
Pemerintah negara Pengguna TKI atau Pengguna berbadan bukum di negara tujuan
penempatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1);
|
|
b.
memberikan
pelayanan dan melakukan koordinasi dengan lembaga-lembaga terkait mengenai:
|
|
1.
dokumen;
|
|
2.
pembekalan
akhir pemberangkatan (PAP);
|
|
3.
penyelesaian
masalah;
|
|
4.
sumber-sumber
pembiayaan;
|
|
5.
pemberangkatan
sampai pemulangan;
|
|
6.
peningkatan
kualitas calon TKI;
|
|
7.
informasi;
|
|
8.
kualitas pelaksana penempatan TKI; dan
|
|
9.
peningkatan kesejahteraan TKI dan keluarganya.
|
|
(3)
Untuk melaksanakan fungsi perlindungan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI
bertugas:
|
|
a.
melakukan koordinasi
dengan lembaga dan instansi terkait yang berwenang dalam perlindungan
terhadap TKI;
|
|
b.
melakukan
tindakan-tindakan pencegahan terhadap pelanggaran hak – hak TKI;
|
|
c.
melakukan
mediasi untuk penyelesaian sengketa TKI, antara lain perselisihan antara TKI
dengan Pelaksana Penempatan TKI Swasta dan asuransi;
|
|
d.
menetapkan
sistem pelaporan dalam kegiatan perlindungan TKI;
|
|
e.
meminta
informasi tentang kegiatan perlindungan terhadap TKI kepada instansi yang
terkait;
|
|
f.
meminta laporan instansi terkait
mengenai perlindungan terhadap TKI.
|
|
g.
melaksanakan dengar pendapat atau
pertemuan dengan instansi yang berwenang dalam melakukan perlindungan
terhadap TKI; dan
|
|
h.
membuat laporan berkala dan laporan
tahunan dan menyampaikan laporannya kepada Presiden.
|
|
|
|
14.
Pasal
98 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
Angka
14
|
|
|
Pasal 98
|
Pasal 98
|
|
Cukup
jelas
|
(1)
Untuk
kelancaran pelaksanaan pelayanan penempatan TKI, Badan Nasional Penempatan
dan Perlindungan TKI membentuk Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan
TKI di Ibukota Provinsi dan/atau tempat pemberangkatan TKI dan/atau daerah
transit yang dianggap perlu.
|
|
|
|
(2)
Balai
Pelayanan Penempatan dan Perlindungan TKI sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memiliki tugas sebagai berikut:
|
|
a.
memberikan kemudahan pelayanan pemrosesan seluruh
dokumen penempatan TKI;
|
|
b.
menangani TKI
yang kembali atau dikembalikan ke daerah transit di wilayah negara Republik
Indonesia karena mengalami permasalahan pada proses penempatan;
|
|
c.
melakukan pencatatan setiap TKI yang masuk ke daerah
transit dan memastikan kepulangan TKI ke daerah asal; dan
|
|
d.
membangun sarana dan prasana yang diperlukan di daerah
transit bagi penampungan sementara TKI yang kembali atau dikembalikan ke
wilayah Negara Republik Indonesia.
|
|
(3) Pemberian
pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan bersama-sama dan
berkoordinasi dengan instansi yang terkait
baik di pusat maupun di daerah.
|
|
(4)
Balai
Pelayanan Penempatan dan Perlindungan TKI wajib menjamin kesejahteraan,
kesehatan dan kebutuhan minimal dari TKI selama berada dalam tempat
penampungan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d.
|
|
|
|
15.
Pasal 100 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
Angka
15
|
|
|
Pasal
100
|
Pasal 100
|
|
Cukup jelas
|
(1)
Pelanggaran atas ketentuan dalam
Pasal 17 ayat (1), Pasal 20, Pasal 21,
Pasal 30, Pasal 33, Pasal 34 ayat (3), Pasal 38 ayat (2), Pasal 54 ayat (1),
Pasal 55 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 58 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 62 ayat
(1), Pasal 67 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 69 ayat (1), Pasal 71, Pasal 71 A,
Pasal 72, Pasal 73 ayat (2), Pasal 74, Pasal 76 ayat (1), Pasal 82, Pasal 83,
atau Pasal 105 akan diancam sanksi administrasi.
|
|
(2)
Menteri berwenang menjatuhkan
sanksi administratif atas pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
|
|
1. peringatan tertulis;
|
|
2. penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan
usaha penempatan TKI;
|
|
3. pencabutan izin;
|
|
4.
pembatalan
keberangkatan calon TKI; dan/atau
|
|
5.
kewajiban
pelaksana penempatan TKI swasta untuk memulangkan TKI dari luar negeri.
|
|
(3)
Ketentuan
lebih lanjut mengenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.
|
|
|
|
16.
Ketentuan mengenai BAB XV Ketentuan Peralihan diubah
sehingga berbunyi sebagai berikut :
|
Angka 16
|
|
|
BAB XV
|
|
KETENTUAN PERALIHAN
|
|
|
|
Pasal 107
|
Pasal 107
|
|
Cukup
jelas
|
(1)
Pelaksana
penempatan TKI swasta yang telah memiliki SIP sebelum Undang-undang ini
berlaku, wajib menyesuaikan SIP sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang
ini paling lambat 2 (dua) tahun setelah Undang-Undang ini berlaku.
|
|
(2)
Bagi
pelaksana penempatan TKI swasta yang menempatkan TKI sebelum berlakunya
Undang-Undang ini, maka jangka waktu penyesuaian terhitung mulai sejak
undang-undang ini berlaku sampai dengan berakhirnya perjanjian kerja terakhir
yang ditempatkan sebelum Undang-undang ini berlaku.
|
|
|
|
(3)
Apabila,
setelah 2 (dua) tahun sejak undang-undang ini berlaku, SIP sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) tidak disesuaikan, maka SIP dinyatakan tidak berlaku.
|
|
|
|
Pasal 108
|
Pasal 108
|
|
Cukup
jelas
|
(1)
Pelaksana
penempatan TKI swasta yang belum memiliki kantor cabang di daerah perekrutan,
wajib menyesuaikan sebagaimana diatur ketentuan Pasal 21 paling lambat 6
(enam) bulan setelah Undang-Undang ini berlaku.
|
|
(2)
Apabila
setelah 6 (enam) bulan Undang-Undang ini berlaku, pelaksana penempatan TKI
swasta tidak menyesuaikan ketentuan sebagaimana Pasal 21, maka pelaksana
penempatan TKI swasra akan dikenakan sanksi administrasi sebagaimana diatur
dalam Pasal 100.
|
|
|
|
17.
Ketentuan mengenai BAB XVI
Ketentuan Penutup diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
Angka 17
|
|
|
BAB XVI
|
|
KETENTUAN PENUTUP
|
|
|
|
Pasal 109
|
Pasal 109
|
|
Cukup jelas
|
Pada saat
undang-undang ini berlaku, semua peraturan pelaksana Undang-Undang Nomor 39
tahun 2009 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar
Negeri masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau diganti
berdasarkan undang-undang ini.
|
|
PASAL
II
|
|
||||||||||
|
|
||||||||||
Pasal 110
|
Pasal 110
|
||||||||||
|
Cukup jelas
|
||||||||||
Undang-Undang ini mulai berlaku
pada tanggal diundangkan.
|
|
||||||||||
|
|
||||||||||
Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia.
|
|
||||||||||
|
|
||||||||||
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar