Iklan Premium

Judul Iklan

Isi Potongan Iklan
Dikirim oleh : Nama Pengirim, Alamat, No Telp | Kunjungi Website

RUU Perubahan Atas UU No 39 tahun 2004 Tentang Penempatan Pekerja Indonesia di Luar Negeri Verdi DPD RI




DEWAN PERWAKILAN DAERAH

REPUBLIK INDONESIA
-------------

BAGIAN KEDUA
RANCANGAN UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR.... TAHUN.....
TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG –UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 39 TAHUN 2004
TENTANG
PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN
TENAGA KERJA INDONESIA DI LUAR NEGERI











Jakarta, 2011
RANCANGAN UNDANG-UNDANG
PENJELASAN





DEWAN PERWAKILAN DAERAH
REPUBLIK INDONESIA



RANCANGAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR.... TAHUN.....
TENTANG

PERUBAHAN ATAS  UNDANG -UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2004 TENTANG PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN TENAGA KERJA INDONESIA DI LUAR NEGERI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,











PENJELASAN
RANCANGAN
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR.... TAHUN.....
TENTANG
PERUBAHAN ATAS
 UNDANG -UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39
TAHUN 2004
TENTANG
 PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN TENAGA KERJA INDONESIA
DI LUAR NEGERI

DENGAN RAHMAT
TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,




I. Umum
Menimbang
:
a.
bahwa negara wajib menjamin dan melindungi hak asasi warga negaranya yang bekerja baik di dalam maupun di luar negeri berdasarkan prinsip kemanusiaan, persamaan hak, demokrasi, keadilan sosial, kesetaraan dan keadilan gender, anti diskriminasi, dan anti perdagangan manusia;
Penempatan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri sesungguhnya adalah salah satu usaha pemerintah Republik Indonesia untuk memberikan perlindungan terhadap hak atas pekerjaan warga negaranya. Hal ini terpaksa dikeluarkan oleh pemerintah, mengingat kondisi akan keterbatasan lowongan kerja di dalam negeri. Kebijakan ini pun disambut oleh masyarakat, terbukti dengan banyaknya animo masyarakat yang tertarik untuk mengadu nasib mencari pekerjaan di luar negeri.

Selama ini, peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar acuan penempatan dan perlindungan terhadap TKI adalah Undang-undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Sayangnya, keberadaan Undang-Undang tersebut masih belum memberikan perlindungan yang berarti bagi Tenaga Kerja Indonesia. Para Tenaga Kerja Indonesia masih sering dijadikan obyek perdagangan manusia, termasuk perbudakan dan kerja paksa, korban kekerasan, kesewenang-wenangan, kejahatan atas harkat dan martabat menusia, serta perlakuan lain yang melanggar hak asasi manusia. Masih banyak ditemukan secara masif kasus-kasus yang dialami oleh TKI sejak proses perekrutan di daerahnya masing-masing, hingga dalam proses pendidikan dan pelatihan, pemeriksaan kesehatan dan psikologi, pemberangkatan dan pengurusan dokumen, hingga perlakuan yang tidak manusiawi yang dialami TKI di negara tujuan. Masyarakat secara umum memberikan perhatian besar terhadap kasus penganiayaan yang dialami TKI di luar negeri dan kesulitan yang dialami oleh TKI dalam proses hukum yang terjadi di negara tujuan. Namun sesungguhnya, kasus-kasus tersebut merupakan kulminasi dari permasalahan yang sudah timbul sejak proses awal penempatan. Demikian, perubahan terhadap Undang-undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan terhadap Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri perlu mencakup seluruh aspek prosedur dan penempatan. 

Perekrutan menjadi titik awal mengingat pada tahap ini terjadi seleksi terhadap TKI yang dapat dikirim ke luar negeri. Gagasan utama dalam perubahan terhadap Undang-undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan terhadap Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri adalah mewujudkan politik ketenagakerjaan yang didorong oleh visi  untuk menciptakan tenaga kerja Indonesia di luar negeri yang terdidik, terampil, dan mampu bersaing pada tingkat global. Keleluasaan yang dimiliki oleh Pelaksana Penempatan TKI Swasta, yang diikuti dengan lemahnya pengawasan dan sanksi dari lembaga-lembaga yang berwenang, menyebabkan penempatan TKI lebih terfokus pada TKI yang tidak terdidik, tidak terampil, dan lebih banyak mencakup sektor informal. Di sisi lain, peran pemerintah daerah dalam penyelenggaraan penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri masih sangat terbatas. Padahal, banyak permasalahan yang disebabkan oleh lemahnya peran pemerintah daerah dalam melakukan administrasi, pengawasan, dan pembinaan atas TKI, serta ketiadaan kewenangan daerah untuk membina dan menjamin kualitas calon TKI yang berasal dari daerahnya masing-masing.

Atas dasar tersebut, gagasan yang didorong dalam Perubahan atas Undang-undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan terhadap Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri adalah mengikutsertakan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan yang sebelumnya hanya dimiliki oleh Pelaksana Penempatan TKI Swasta atau lembaga pelatihan kerja. Hal ini dimaksudkan untuk menguatkan peran pemerintah dan pemerintah daerah dalam mendorong secara nyata kualitas calon TKI.

Setelah TKI dengan kualitas dan kompetensi yang layak berhasil dihimpun, hal selanjutnya adalah memastikan bahwa para TKI tersebut hanya dapat ditempatkan pada negara-negara tujuan yang memiliki perangkat hukum yang dipandang memadai dan sesuai dengan prinsip-prinsip kemanusiaan dan hak asasi manusia yang diakui secara internasional. Berdasarkan praktek yang terjadi selama ini, pemerintah dapat melihat negara mana saja yang secara nyata memberikan perlindungan dan menghormati hak-hak TKI dalam sistem hukumnya, serta negara mana saja yang membiarkan terjadinya pelanggaran hak-hak hukum dan tindakan manusiawi terjadi terhadap TKI di yurisdiksinya. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengaturan untuk memastikan bahwa negara tujuan menunjukan itikad baik dan tindakan nyata untuk menjamin perlindungan terhadap TKI, dengan tetap menghormati yuridiksi dari masing-masing negara yang berdaulat sebagaimana diatur dalam hukum internasional.

Pemberdayaan dan penguatan perlindungan terhadap TKI juga dapat dilakukan melalui peningkatan kapasitas lembaga-lembaga yang berwenang dalam mengatur, membina, mengawasi, melaksanakan setiap tahap dalam penyelenggaraan penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Lembaga-lembaga tersebut adalah pemerintah (melalui menteri yang menangani bidang ketenagakerjaan), Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI, Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan TKI, serta perwakilan Republik Indonesia di negara tujuan penempatan. Hal pertama yang dilakukan adalah melakukan penataan dan pembagian kewenangan dan tanggung jawab agar masing-masing dapat menjalankan tugas dan fungsi tanpa adanya tumpang-tindih kewenangan. Selanjutnya, lembaga-lembaga tersebut harus diberikan peran perlindungan yang lebih besar, dan tidak hanya berfokus pada penempatan.

Diharapkan dengan perubahan  pengaturan mengenai penempatan dan perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri ini, akan tercipta mekanisme penempatan dan perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri dengan lebih baik lagi.


b.
bahwa UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri sudah berlaku dan diterapkan, tetapi belum mampu menyelesaikan masalah tenaga kerja Indonesia di luar negeri yang masih sering dijadikan obyek perdagangan manusia, termasuk perbudakan dan kerja paksa, korban kekerasan, kesewenang-wenangan, kejahatan atas harkat dan martabat menusia, serta perlakuan lain yang melanggar hak asasi manusia;


c.
bahwa memandang perlu peningkatan kewenangan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan penempatan dan perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri, mengingat banyaknya permasalahan yang disebabkan oleh lemahnya kewenangan pemerintah daerah dalam melakukan administrasi, pengawasan dan pembinaan atas Tenaga Kerja Indonesia; serta kurangnya kewenangan daerah untuk membina dan menjamin kualitas calon tenaga kerja Indonesia yang berasal dari daerahnya masing-masing;


d.
bahwa berdasarkan petimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk undang-undang tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri;





Mengingat
:
1.
Pasal 20, Pasal 22 D ayat (1), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28 D ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28 E ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;



2.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4279);



3.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4445 );



4.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian ( Lembaran Negara Tahun 2011 Nomor 52 Tambahan Lembaran NegaraNomor 5216 );


Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan
:
UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS  UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2004 TENTANG PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN TENAGA KERJA INDONESIA DI LUAR NEGERI.


II.    Pasal per- pasal
Pasal I
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4445) diubah sebagai berikut:


1.     Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Angka 1


Pasal 1
Pasal 1

Cukup jelas
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan:



1.       Tenaga Kerja Indonesia yang selanjutnya disebut dengan TKI adalah setiap warga negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah.

2.     Calon Tenaga Kerja Indonesia yang selanjutnya disebut calon TKI adalah setiap warga negara Indonesia yang memenuhi syarat sebagi pencari kerja yang akan bekerja di luar negeri dan terdaftar di instansi pemerintah kabupaten/kota yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan.

3.       Penempatan TKI adalah kegiatan pelayanan untuk mempertemukan TKI sesuai bakat, minat, dan kemampuannya dengan pemberi kerja di luar negeri yang meliputi keseluruhan proses perekrutan, pengurus dokumen, pendidikan dan pelatihan, penampungan, persiapan pemberangkatan, pemberangkatan sampai ke negara tujuan, dan pemulangan dari negara tujuan.

4.       Perlindungan TKI adalah segala upaya untuk memberikan jaminan rasa aman, bebas dari kekerasan, diskriminasi, dan pelanggaran hak-hak calon TKI/TKI baik sebelum, selama, maupun sesudah bekerja.

5.       Pelaksana penempatan TKI swasta adalah badan hukum yang telah memperoleh izin tertulis dari Pemerintah untuk menyelenggarakan pelayanan penempatan TKI di luar negeri.

6.       Mitra usaha adalah instansi atau badan usaha berbentuk badan hukum di negera tujuan yang bertanggung jawab menempatkan TKI pada pengguna.

7.       Pengguna Jasa TKI yang selanjutnya disebut dengan Pengguna adalah instansi Pemerintah, Badan Hukum Pemerintah, Badan Hukum Swasta, dan/atau Perseorangan di negara tujuan yang mempekerjakan TKI.

8.       Perjanjian Kerja Sama Penempatan adalah perjanjian tertulis antara Pelaksana Penempatan TKI swasta dengan mitra Usaha atau Pengguna yang memuat hak dan kewajiban masing- masing pihak dalam rangka penempatan serta perlindungan TKI di negara tujuan.

9.       Perjanjian Penempatan TKI adalah perjanjian tertulis antara pelaksana penempatan TKI swasta dengan calon TKI yang memuat hak dan kewajiban masing-masing pihak dalam rangka penempatan TKI di negara tujuan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

10.    Perjanjian Kerja adalah perjanjian tertulis antara TKI dengan Pengguna yang memuat syarat- syarat kerja, hak dan kewajiban masing-masing pihak.

11.    Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri yang selanjutnya disebut dengan KTKLN adalah kartu identitas bagi TKI yang memenuhi persyaratan dan prosedur untuk bekerja di luar negeri.

12.    Visa Kerja adalah izin tertulis yang diberikan oleh pejabat yang berwenang pada perwakilan suatu negara yang memuat persetujuan untuk masuk dan melakukan pekerjaan di negara yang bersangkutan.

13.    Surat Izin Pelaksana Penempatan TKI yang selanjutnya disebut SIPPTKI adalah izin tertulis yang diberikan oleh Menteri kepada Perusahaan yang akan menjadi pelaksana penempatan TKI swasta.

14.    Surat Izin Pengerahan yang selanjutnya disebut SIP adalah izin yang diberikan Pemerintah kepada pelaksana penempatan TKI swasta untuk merekrut calon TKI dari daerah tertentu untuk jabatan tertentu, dan untuk dipekerjakan kepada calon Pengguna tertentu dalam jangka waktu tertentu.

15.    Orang adalah pihak orang perseorangan atau badan hukum.

16.    Pemerintah Pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

17.    Menteri adalah Menteri yang tugas dan tanggungjawabnya di bidang ketenagakerjaan.





2.           Di antara Bab III dan Bab IV disisipkan 1 (satu) bab baru, yakni Bab III A, berikut dengan penambahan dua pasal baru, yakni Pasal 9 A dan Pasal 9 B, sehingga keseluruhan Bab III A berbunyi sebagai berikut:
Angka 2


BAB III A

HAK ANGGOTA KELUARGA



Pasal 9A
Pasal 9A

Cukup jelas
          Anggota keluarga TKI berhak:

a.            memperoleh laporan berkala dan/atau laporan insidental dari pelaksana penempatan TKI swasta dan/atau BNP2TKI mengenai status dan kondisi dari TKI;

b.           memperoleh salinan atas semua dokumen yang dimiliki dan/atau diurus oleh TKI sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini dan peraturan pelaksananya, serta yang dipersyaratkan oleh negara tujuan; dan

c.            memperoleh fasilitas pemulangan jenazah TKI  tanpa dikenakan biaya, disertai hak-hak TKI dalam hubungan kerja dari TKI yang meninggal dunia.



Pasal 9B
Pasal 9B

Cukup jelas
(1)         Dalam hal terjadi dugaan pelanggaran terhadap hak-hak TKI sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini, anggota keluarga TKI untuk dan atas nama TKI berhak:

a.        mengajukan pengaduan dan meminta pemenuhan hak dan pelayanan kepada BNP2TKI;

b.        mengajukan pengaduan kepada Menteri sebagai bahan pertimbangan Menteri dalam menjatuhkan sanksi;

c.        mengajukan gugatan perdata terhadap pelaksana penempatan TKI swasta atau pihak lain yang dianggap terkait; dan

d.        memberikan laporan pidana dalam hal terjadi dugaan tindak pidana terhadap TKI.



(2)         Pemenuhan hak-hak anggota keluarga TKI sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dibiayai oleh negara berdasarkan peraturan perundang-undangan terkait di bidang bantuan hukum.



Pasal 9C
Pasal 9C

Cukup jelas
(1)         Hak-hak anggota keluarga TKI sebagaimana dimaksud pada Pasal 9 A dan Pasal 9 B hanya diberikan kepada suami, istri, anak, dan/atau orang tua dari TKI.

(2)         Dalam hal seluruh anggota keluarga TKI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meninggal dunia atau tidak diketahui keberadaannya, hak-hak tersebut dapat diberikan kepada anggota keluarga TKI lainnya, sepanjang memiliki hubungan kekeluargaan yang dapat dibuktikan dengan dokumen yang sah.



3.           Ketentuan Pasal 21 ayat (1) dan ayat (3) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 21 berbunyi sebagai berikut:
Angka 3
Pasal 21
Pasal 21

Cukup jelas
(1)          Pelaksana penempatan TKI swasta wajib membentuk kantor cabang di daerah perekrutan, kecuali di dalam wilayah domisili kantor pusatnya.

(2)          Kegiatan yang dilakukan oleh kantor cabang pelaksana penempatan TKI swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menjadi tanggung jawab kantor pusat pelaksana penempatan TKI swasta.

(3)          Ketentuan mengenai tata cara pembentukan kantor cabang pelaksana penempatan TKI swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Presiden.



4.           Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Angka 4


Pasal 22
Pasal 22

Cukup jelas
  Kantor cabang yang dibentuk oleh pelaksana penempatan TKI swasta mempunyai kewenangan:

a.       melakukan penyuluhan dan pendataan calon TKI;

b.       melakukan pendaftaran dan seleksi calon TKI;

c.        menyelesaikan kasus calon TKI/TKI pada pra atau purna penempatan; dan

d.       menandatangani perjanjian penempatan dengan calon TKI atas nama pelaksana penempatan TKI swasta.





5.           Ketentuan Pasal 27 ayat (1) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 27 berbunyi sebagai berikut:
Angka 5


Pasal 27
Pasal 27

Cukup jelas
(1)      Penempatan TKI di luar negeri hanya dapat dilakukan ke negara tujuan sebagai berikut:

a.        negara yang telah memiliki perjanjian bilateral dengan Pemerintah Republik Indonesia mengenai perlindungan TKI;

b.        negara yang telah menandatangani dan meratifikasi perjanjian internasional yang memberikan perlindungan hukum terhadap TKI yang memadai sesuai dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia; atau

c.         negara yang sistem hukumnya dipandang telah efektif mengakomodasi prinsip-prinsip perlindungan terhadap TKI  yang memadai sesuai dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia.

(2)      Berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau pertimbangan keamanan, Presiden menetapkan negara-negara tertentu yang tertutup bagi penempatan TKI dengan Keputusan Presiden.



6.           Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Angka 6





Pasal 32
Pasal 32

Cukup jelas
(1)          Pelaksana penempatan TKI swasta yang akan melakukan perekrutan wajib memiliki SIP dari pemerintah kabupaten/kota pada daerah perekrutan.

(2)          Untuk mendapatkan SIP, pelaksana penempatan TKI swasta harus memiliki:

a.         perjanjian kerjasama penempatan;

b.        surat permintaan TKI dari Pengguna;

c.         rancangan perjanjian penempatan; dan

d.        rancangan perjanjian kerja.

(3)          Surat permintaan TKI dari Pengguna perjanjian kerja sama penempatan, dan rancangan perjanjian kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf d harus memperoleh persetujuan dari pejabat yang berwenang pada Perwakilan Republik Indonesia di negara tujuan.

(4)          Tata cara penerbitan dan pencabutan SIP diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.



7.           Ketentuan Pasal 41 ayat (2) dihapus, sehingga keseluruhan Pasal 41 berbunyi sebagai berikut:
Angka 7


Pasal 41
Pasal 41

Cukup jelas
Calon TKI wajib memiliki sertifikat kompetensi kerja sesuai dengan persyaratan kompetensi pekerjaannya.



8.           Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Angka 8


Pasal 43
Pasal 43
(1)      Pendidikan dan pelatihan kerja dilaksanakan oleh:
Cukup jelas
a.     Pemerintah;

b.     Pemerintah daerah; atau

c.     Pelaksana penempatan TKI swasta atau lembaga pelatihan kerja yang memenuhi persyaratan.

(2)      Pendidikan dan pelatihan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pendidikan dan pelatihan kerja.

(3)      Materi pendidikan dan pelatihan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain mencakup:

a.        hak dan kewajiban TKI;

b.        hubungan kerja;

c.         kesehatan;

d.        teknik keahlian dan keterampilan sektoral;

e.         teknik pengenalan dan pengembangan diri;

f.               kemampuan bahasa negara tujuan;

g.        situasi dan kondisi sosial budaya negara tujuan; dan

h.        sistem hukum negara tujuan.

(4)      Ketentuan mengenai penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.



9.           Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Angka 9


Pasal 44
Pasal 44


Calon TKI memperoleh pengakuan kompetensi kerja setelah mengikuti pendidikan dan pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43, dalam bentuk sertifikat kompetensi dari lembaga pendidikan dan pelatihan yang telah terakreditasi oleh instansi yang berwenang.
Sertifikasi kompetensi kerja diberikan oleh lembaga yang terakreditasi secara internasional atau nasional dalam tiap-tiap lingkup profesi. Lembaga yang memiliki akreditasi nasional wajib memenuhi persyaratan dan mendapatkan lisensi sebagai lembaga sertifikasi profesi sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai sertifikasi kompetensi kerja. Pemerintah dan pemerintah daerah membina dan memfasilitasi peran aktif dari universitas atau perguruan tinggi terutama yang berada pada wilayah perekrutan untuk mendapatkan lisensi sertifikasi profesi atas bidang-bidang kompetensi yang dibutuhkan oleh TKI pada daerah tersebut.


10.        Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Angka 10


Pasal 49
Pasal 49

Cukup jelas
(1)          Setiap calon TKI harus mengikuti pemeriksaan kesehatan dan psikologi yang diselenggarakan oleh sarana kesehatan dan lembaga yang menyelenggarakan pemeriksaan psikologi yang ditunjuk oleh Pemerintah.



(2)          Pemeriksaan kesehatan dan psikologi dilakukan di  daerah perekrutan pada kabupaten/kota asal calon TKI.

(3)          Ketentuan mengenai mekanisme penyelenggaraan pemeriksaan kesehatan dan psikologi bagi calon TKI sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan ayat (2) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.



11.        Di antara Pasal 70 dan Pasal 71 disisipkan satu pasal baru, yakni Pasal 71 A yang berbunyi sebagai berikut:
Angka 11


Pasal 71A
Pasal 71A


(1)          Pelaksana Penempatan TKI Swasta wajib menyerahkan laporan berkala setiap 3 (tiga) bulan kepada BNP2TKI mengenai kondisi dan keberadaan TKI yang ditempatkan.
Ayat (1)
Cukup jelas
(2)          Pelaksana Penempatan TKI Swasta wajib menyerahkan laporan insidental kepada BNP2TKI selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja setelah mengetahui terjadinya perubahan atau kondisi sebagai berikut:
Ayat (2)
Cukup jelas


a.        perubahan identitas Pengguna

b.        perubahan identitas Mitra Usaha, jika ada;

c.        perubahan alamat dan nomor kontak Pengguna;

d.        perubahan alamat dan nomor kontak Mitra Usaha;

e.        perubahan atas ketentuan dalam perjanjian kerja;

f.         perubahan atas ketentuan dalam perjanjan penempatan; atau

g.        keterlibatan TKI dalam proses hukum pada negara tujuan.

(3)          Laporan berkala dan laporan insidental sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) ditembuskan kepada:
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “laporan insidental” adalah laporan yang dibuat pada waktu tertentu saja dalam hal terjadi situasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 A ayat (2).
a.        Perwakilan Republik Indonesia di negara tujuan; dan

b.        Pemerintah kabupaten/kota pada daerah asal TKI.

(4)          Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) wajib mencantumkan tanda-tangan dari masing-masing TKI yang namanya tercantum dalam laporan tersebut.
Ayat (4)
Cukup jelas
(5)          Anggota keluarga TKI berhak mendapatkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan  ayat (4).
Ayat (5)
Cukup jelas


12.        Ketentuan Pasal 80 ayat (1) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 80 berbunyi sebagai berikut:
Angka 12


Pasal 80
Pasal 80

Cukup jelas
(1)   Perlindungan selama masa penempatan TKI di luar negeri dilaksanakan antara lain:

a.  pemberian bantuan hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di negara tujuan serta hukum dan kebiasaan internasional;

b.  pembelaan terhadap hak-hak TKI sesuai dengan perjanjian kerja dan/atau peraturan perundang-undangan pada negara tujuan;

c.  membantu dan memfasilitasi pemberian pelayanan kesehatan dan rumah perlindungan bagi TKI yang bermasalah; dan

d.  melakukan pengawasan dan pemantauan secara berkala terhadap status dan kondisi TKI pada Mitra Usaha atau Pengguna di negara penempatan.

(2)   Ketentuan mengenai pemberian perlindungan selama masa penempatan TKI di luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.



13.        Pasal 95 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Angka 13


Pasal 95
Pasal 95

Cukup jelas
(1)          Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 mempunyai fungsi pelaksanaan kebijakan di bidang penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri secara terkoordinasi dan terintegrasi.

(2)          Untuk melaksanakan fungsi penempatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI bertugas:

a.        melakukan penempatan atas dasar perjanjian secara tertulis antara Pemerintah dengan Pemerintah negara Pengguna TKI atau Pengguna berbadan bukum di negara tujuan penempatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1);

b.        memberikan pelayanan dan melakukan koordinasi dengan lembaga-lembaga terkait mengenai:

1.      dokumen;

2.      pembekalan akhir pemberangkatan (PAP);

3.      penyelesaian masalah;

4.      sumber-sumber pembiayaan;

5.      pemberangkatan sampai pemulangan;

6.      peningkatan kualitas calon TKI;

7.      informasi;

8.      kualitas pelaksana penempatan TKI; dan

9.      peningkatan kesejahteraan TKI dan keluarganya.

(3)          Untuk melaksanakan fungsi perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI bertugas:

a.       melakukan koordinasi dengan lembaga dan instansi terkait yang berwenang dalam perlindungan terhadap TKI;

b.       melakukan tindakan-tindakan pencegahan terhadap pelanggaran hak – hak TKI;

c.        melakukan mediasi untuk penyelesaian sengketa TKI, antara lain perselisihan antara TKI dengan Pelaksana Penempatan TKI Swasta dan asuransi;

d.       menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan perlindungan TKI;

e.        meminta informasi tentang kegiatan perlindungan terhadap TKI kepada instansi yang terkait;

f.         meminta laporan instansi terkait mengenai perlindungan terhadap TKI.

g.       melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang dalam melakukan perlindungan terhadap TKI; dan

h.       membuat laporan berkala dan laporan tahunan dan menyampaikan laporannya kepada Presiden.



14.        Pasal 98 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Angka 14


Pasal 98
Pasal 98

Cukup jelas
(1)      Untuk kelancaran pelaksanaan pelayanan penempatan TKI, Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI membentuk Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan TKI di Ibukota Provinsi dan/atau tempat pemberangkatan TKI dan/atau daerah transit yang dianggap perlu.



(2)      Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan TKI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki tugas sebagai berikut:

a.        memberikan kemudahan pelayanan pemrosesan seluruh dokumen penempatan TKI;

b.         menangani TKI yang kembali atau dikembalikan ke daerah transit di wilayah negara Republik Indonesia karena mengalami permasalahan pada proses penempatan;

c.         melakukan pencatatan setiap TKI yang masuk ke daerah transit dan memastikan kepulangan TKI ke daerah asal; dan

d.        membangun sarana dan prasana yang diperlukan di daerah transit bagi penampungan sementara TKI yang kembali atau dikembalikan ke wilayah Negara Republik Indonesia.

(3)      Pemberian pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan bersama-sama dan berkoordinasi dengan instansi yang terkait  baik di pusat maupun di daerah.

(4)      Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan TKI wajib menjamin kesejahteraan, kesehatan dan kebutuhan minimal dari TKI selama berada dalam tempat penampungan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d.



15.        Pasal 100 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Angka 15


Pasal 100
Pasal 100

Cukup jelas
(1)          Pelanggaran atas ketentuan dalam Pasal 17 ayat (1), Pasal 20,  Pasal 21, Pasal 30, Pasal 33, Pasal 34 ayat (3), Pasal 38 ayat (2), Pasal 54 ayat (1), Pasal 55 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 58 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 62 ayat (1), Pasal 67 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 69 ayat (1), Pasal 71, Pasal 71 A, Pasal 72, Pasal 73 ayat (2), Pasal 74, Pasal 76 ayat (1), Pasal 82, Pasal 83, atau Pasal 105 akan diancam sanksi administrasi.

(2)          Menteri berwenang menjatuhkan sanksi administratif atas pelanggaran sebagaimana  dimaksud pada ayat (1) berupa:

1.     peringatan tertulis;

2.     penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan usaha penempatan TKI;

3.     pencabutan izin;

4.     pembatalan keberangkatan calon TKI; dan/atau

5.     kewajiban pelaksana penempatan TKI swasta untuk memulangkan TKI dari luar negeri.

(3)             Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.



16.        Ketentuan mengenai BAB XV Ketentuan Peralihan diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :
Angka 16


BAB XV

KETENTUAN PERALIHAN



Pasal 107
Pasal 107

Cukup jelas
(1)             Pelaksana penempatan TKI swasta yang telah memiliki SIP sebelum Undang-undang ini berlaku, wajib menyesuaikan SIP sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang ini paling lambat 2 (dua) tahun setelah Undang-Undang ini berlaku.

(2)             Bagi pelaksana penempatan TKI swasta yang menempatkan TKI sebelum berlakunya Undang-Undang ini, maka jangka waktu penyesuaian terhitung mulai sejak undang-undang ini berlaku sampai dengan berakhirnya perjanjian kerja terakhir yang ditempatkan sebelum Undang-undang ini berlaku.



(3)             Apabila, setelah 2 (dua) tahun sejak undang-undang ini berlaku, SIP sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak disesuaikan, maka SIP dinyatakan tidak berlaku.



Pasal 108
Pasal 108

Cukup jelas
(1)             Pelaksana penempatan TKI swasta yang belum memiliki kantor cabang di daerah perekrutan, wajib menyesuaikan sebagaimana diatur ketentuan Pasal 21 paling lambat 6 (enam) bulan setelah Undang-Undang ini berlaku.

(2)             Apabila setelah 6 (enam) bulan Undang-Undang ini berlaku, pelaksana penempatan TKI swasta tidak menyesuaikan ketentuan sebagaimana Pasal 21, maka pelaksana penempatan TKI swasra akan dikenakan sanksi administrasi sebagaimana diatur dalam Pasal 100.



17.        Ketentuan mengenai BAB XVI Ketentuan Penutup diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Angka 17


BAB XVI

KETENTUAN PENUTUP



Pasal 109
Pasal 109

Cukup jelas
Pada saat undang-undang ini berlaku, semua peraturan pelaksana Undang-Undang Nomor 39 tahun 2009 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau diganti berdasarkan undang-undang ini.


PASAL II



Pasal 110
Pasal 110

Cukup jelas
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.



Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.





Disahkan di Jakarta
pada tanggal ...

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,




SUSILO BAMBANG YUDHOYONO



Diundangkan di Jakarta
pada tanggal...

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,





AMIR SYAMSUDIN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN ... NOMOR ..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banner 125x125 dan 160x600