Iklan Premium

Judul Iklan

Isi Potongan Iklan
Dikirim oleh : Nama Pengirim, Alamat, No Telp | Kunjungi Website

RUU Jaminan Produk Halal (JPH) Update juni 2012



Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor.....Tahun....
Tentang
Jaminan Produk Halal

Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa
                                                 Presiden Republik Indonesia,           



Menimbang:
a.    Bahwa setiap orang berhak mendapat perlindungan dan jaminan untuk  memeluk dan menjalankan ibadah agama sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang dasar negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.    Bahwa makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimia biologi, dan produk rekayasa genetika yang terjamin kehalalannya bagi masyarakat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perlindungan dan jaminan melaksanakan ibadah;
c.    Bahwa makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimia biologi, dan produk rekayasa genetika yang beredar di masyarakat saat ini belum terjamin kehalalannya;
d.    Bahwa makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimia biologi, dan produk rekayasa genetika belum diatur secara komprehensif dan belum menjamin kepastian hukum;
e.    Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, hhuruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-Undang  tentang Jaminan Produk Halal


Mengingat: Pasal 20, Pasal 28J, dan Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945


Dengan Persetujuan Bersama

Dewan Perwakilan Republik Indonesia

Dan Presiden Republik Indonesia


Memutuskan:

Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL


BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini, yang dimaksud dengan:
1.    Produk adalah makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimia, produk biologi, dan produk rekayasa genetika
2.    Produk Halal adalah produk yang telah dinyatakan halal sesuai dengan syariat Islam
3.    Proses Produk Halal yang selanjutnya disingkat PPH adalah rangkaian kegiatan untuk menjamin kehalalan Produk yang meliputi pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian produk.
4.    Bahan adalah unsur yang digunakan untuk membuat atau menghasilkan produk
5.    Jaminan Produk Halal yang selanjutnya disingkat JPH adalah kepastian hukum terhadap Produk yang dibuktikan  dengan sertifikat halal, nomor registrasi halal, dan label halal.
6.    Badan Nasional Penjamin Produk Halal yang selanjutnya disingkat BNP2H adalah badan yang dibentuk oleh pemerintah untuk menyelenggarakan JPH
7.    Majelis Ulama Indonesia yang selanjutnya disingkat dengan MUI adalah wadah musyawarah  ulama, zuama, dan cendekiawan muslim yang memiliki kewenangan untuk menetapkan standar halal, sistem jaminan halal, dan fatwa halal.
8.    Lembaga Pemeriksa Halal yang selanjutnya disingkat LPH adalah lembaga yang bertugas melakukan pemeriksaan dan pengujian terhadap kehalalan Produk.
9.    Sertifikat Halal adalah pengakuan kehalalan suatu Produk yang dikeluarkan oleh BNP2H berdasarkan fatwa halal yang dikeluarkan oleh MUI
10. Nomor Registrasi Halal adalah nomor terdaftar yang dikeluarkan oleh BNP2H atas Produk yang telah memperoleh Sertifikat Halal sebagai syarat untuk dapat mencantumkan label halal.
11. Label Halal adalah tanda pada kemasan Produk, bagian tertentu dari Produk, atau tempat tertentu yang menunjukkan kehalalan suatu Produk.
12. Pelaku Usaha adalah orang perseorangan atau badan usaha, berbentuk badan hukum, yang menyelenggarakan PPH
13. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang agama.


Pasal 2
Penyelenggaraan JPH berasaskan:
a.    perlindungan; keadilan;
b.    kepastian hukum;
c.    akuntabilitas dan transparansi;
d.     efektifitas dan efisiensi; dan
e.     profesionalitas.


Pasal 3

Penyelenggaraan JPH bertujuan:
a.    memberikan kenyamanan, keamanan, dan keselamatan kepada masyarakat dalam mengkonsumsi atau menggunakan Produk Halal;
b.    menciptakan sistem JPH untuk menjamin tersedianya Produk Halal;
c.    menumbuhkan kesadaran mengenai pentingnya JPH;
d.    meningkatkan kemampuan Pelaku Usaha untuk menjamin kehalalan Produk; dan
e.    meningkatkan keterbukaan dan akses mendapatkan informasi terhadap Produk Halal.



BAB II
PENYELENGGARAAN JPH

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 4
(1)  Pemerintah bertanggungjawab dalam menyelenggarakan JPH secara terencana, terpadu, dan menyeluruh.
(2)  Untuk menyelenggarakan JPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pemerintah membentuk BNP2H.


Bagian Kedua
BNP2H

Pasal 5
(1)  BNP2H sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) berkedudukan dibawah Presiden dan bertanggungjawab kepada Presiden melalui Menteri.
(2)  BNP2H berkedudukan di ibukota negara.



Pasal 6
(1)  BNP2H dipimpin oleh seorang kepala badan.
(2)  Kepala badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Presiden berdasarkan usul Menteri.
(3)  Kepala badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai masa jabatan 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk satu kali masa jabatan.


Pasal 7
(1)  BNP2H terdiri dari unsur wakil-wakil instansi pemerintah terkait yang mempunyai fungsi pelaksanaan kebijakan dibidang pengolahan dan pengawasan Produk.
(2)  Dalam pelaksanaan fungsi dan wewenang, BNP2H dapat melibatkan ulama, akademisi, dan praktisi di bidang pengolahan dan pengawasan Produk.



Pasal 8
Dalam penyelenggaraan JPH, BNP2H memiliki fungsi:
a.    pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional di bidang penyelenggaraan JPH;
b.    sertifikasi, registrasi dan labelisasi Produk Halal;
c.    pelatihan dan pengembangan dalam penyelenggaraan JPH;
d.    sosialisasi dan penyadaran Produk Halal kepada masyarakat dan pelaku usaha; dan
e.    pembinaan kepada masyarakat dan Pelaku Usaha terhadap penyelenggaraan produk halal.


Pasal 9
Dalam menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, BNP2H berwenang melakukan:
a.    penerapan norma, standar, prosedur, dan kriteria halal dalam sistem jaminan halal;
b.    penerbitan dan pencabutan Sertifikat Halal, Nomor Registrasi Halal, dan Label Halal pada Produk;
c.    pengumuman daftar Produk Halal secara berkala;
d.    akreditasi LPH dan serifikasi auditor halal;
e.    pengawasan terhadap JPH;
f.     penetapan bentuk Label Halal; dan
g.    kerjasama dengan lembaga dalam dan luar negeri di bidang penyelenggaraan JPH.


Pasal 10
(1)  Dalam menjalankan fungsi dan wewenangnya, BNP2H bekerjasama dengan LPH dan MUI.
(2)  Kerjasama BNP2H dengan LPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk pemeriksaan Produk.
(3)  Kerjasama BNP2H dengan MUI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal:
a.    Standarisasi halal;
b.    Penyelenggaraan sistem jaminan halal;
c.    Penetapan fatwa;
d.    akreditasi LPH;dan
e.    Sertifikasi auditor halal.


Pasal 11
(1)  BNP2H dalam melakasanakan fungsi dan tugasnya dibantu oleh sekretariat badan dan 4 (empat) deputi.
(2)  Sekretariat badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh seorang sekretaris dari unsur pegawai negeri.
(3)  Deputi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari wakil instansi pemerintah terkait yang mempunyai fungsi pelaksanaan kebijakan di bidang pengolahan dan pengawasan Produk.

Pasal 12
Dalam rangka penyelenggaraan JPH di daerah, BNP2H dapat membentuk perwakilan BNP2H daerah


Pasal 13
Biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas BNP2H dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara


Pasal 14
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan, fungsi, wewenang, struktur organisasi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 11, dan Pasal 12 diatur dengan Peraturan Presiden.


Bagian Ketiga
Lembaga Pemeriksa Halal

Pasal 15
(1)  LPH bertugas memeriksa dan menguji Produk atas penunjukkan BNP2H.
(2)  LPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memiliki kompetensi di bidang pemeriksaan kehalalan suatu Produk dan telah terakreditasi.
(3)  LPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
a.    LPH Pemerintah; dan
b.    LPH swasta.
(4)  LPH pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a merupakan lembaga pemerintah terkait yang mempunyai fungsi pelaksanaan kebijakan di bidang pemeriksaan Produk.
(5)  LPH swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b didirikan oleh perseorangan atau lembaga swasta. 


Pasal 16
Pendirian LPH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3) harus memiliki persyaratan sekurang-kurangnya:
a.    auditor halal dalam jumlah dan kualitas yang memadai;
b.    kemampuan mengimplementasikan standar operasional prosedur pemeriksaan Produk yang ditetapkan oleh MUI;
c.    laboratorium yang mampu melakukan pengujian dan pemeriksaan Produk; dan
d.    jaringan dan kerjasama dengan lembaga sertifikasi halal di dalam negeri dan/atau luar negeri


Pasal 17
Auditor halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf a merupakan petugas dari LPH yang bertugas:
a.    memeriksa dan mengkaji Bahan yang digunakan dalam proses pengolahan Produk Halal, untuk menentukan kehalalan suatu Produk;
b.    meneliti lokasi dan pengolahan Produk;
c.    meneliti peralatan, ruang produksi, peyimpanan, pendistribusian, dan penyajian produk; dan
d.    memeriksa implementasi sistem jaminan halal.


Pasal 18
Auditor halal harus memenuhi syarat:
a.    beragama Islam;
b.    memiliki wawasan luas dan memahami syariat Islam khususnya kehalalan Produk;
c.    mendahulukan kepentingan umat di atas kepentingan pribadi dan/atau golongan;
d.    minimal berpendidikan Sarjanan Strata Satu (S-1) dalam bidang pangan, kimia-biokimia, teknik industri, farmasi, serta bidang lain yang dibutuhkan; dan
e.    memiliki sertifikasi dari BNP2H.


Pasal 19
Ketentuan lebih lanjut mengenai akreditasi LPH, pendirian LPH, dan sertifikasi auditor halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2), Pasal 16 dan Pasal 18 huruf e diatur dengan Peraturan BNP2H.


Bagian Keempat
Kerjasama BNP2H dengan MUI

Pasal 20
Penetapan standar halal dan sistem jaminan halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) huruf a dan huruf b dikeluarkan MUI untuk dijadikan pedoman dalam penyelenggaraan JPH oleh BNP2H.


Pasal 21
(1)  Penetapan fatwa halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) huruf c dikeluarkan MUI dalam bentuk putusan fatwa.
(2)  Putusan fatwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan dasar mengikat bagi BNP2H dalam menerbitkan Sertifikasi Halal dan Nomor Regsitrasi Halal.


Pasal 22
Pelibatan MUI dalam akreditasi LPH dan sertifikasi auditor halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) huruf d dan huruf e dilakukan sejak proses perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan.





Pasal 23
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan kerjasama BNP2H dengan MUI sebagimana dimaksud dalam Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 22 diatur dalam nota kesepahaman (memorandum of understanding).


BAB III
BAHAN DAN PROSES PRODUK HALAL

Bagian Kesatu
Bahan

Pasal 24
(1)  Bahan yang digunakan dalam PPH terdiri dari bahan baku, bahan tambahan, dan/atau bahan penolong.
(2)  Bahan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) berasal dari:
a.    hewan;
b.    tumbuhan;
c.    mikroba; dan
d.    bahan yang dihasilkan melalui proses kimiawi, proses biologi, dan/atau proses rekayasa genetik.


Pasal 25
(1)  Bahan yang berasal dari hewan dihalalkan kecuali hewan yang diharamkan berdasarkan syariat.
(2)  Bahan yang berasal dari hewan yang diharamkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.    bangkai;
b.    darah;
c.    babi; dan
d.    hewan yang disembelih tidak sesuai dengan syariat.
(3)  Bahan dari hewan yang diharamkan dapat berasal dari hewan lainnya yang diharamkan berdasarkan fatwa ulama.


Pasal 26
(1)  Hewan sembelihan yang digunakan sebagai Bahan Produk harus disembelih sesuai dengan tuntunan penyembelihan berdasarkan syariat serta memenuhi kaidah kesejahteraan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner.
(2)  Tuntunan penyembelihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan.


Bagian Kedua
Proses Produk Halal

Pasal 27
(1)  Lokasi, tempat, dan alat PPH wajib dipisahkan dari lokasi, tempat, dan alat pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian Produk tidak halal oleh Pelaku Usaha.
(2)  Lokasi, tempat, dan alat PPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib:
a.    dijaga kebersihan dan higienitasnya;
b.    bebas dari najis; dan
c.    bebas dari Bahan tidak halal.
(3)  Ketentuan lebih lanjut mengenai lokasi, tempat, dan alat PPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan BNP2H.


Pasal 28
Pelaku Usaha yang tidak memisahkan lokasi, tempat, dan alat PPH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa:
a.    peringatan tertulis; atau
b.    denda administratif.



BAB IV
PELAKU USAHA

Pasal 29
(1)  Pelaku Usaha terdiri atas:
a.    Pelaku Usaha mikro;
b.    Pelaku Usaha kecil;
c.    Pelaku Usaha menengah; dan
d.    Pelaku Usaha besar.
(2)  Ketentuan mengenai Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan.


Pasal 30
Pelaku Usaha berhak:
a.    memperoleh informasi mengenai prosedur memperoleh Sertifikat Halal dan Nomor Registrasi Halal;
b.    memperoleh pembinaan dalam memproduksi Produk Halal; dan
c.    memperoleh pelayanan untuk mendapatkan Sertifikat Halal dan Nomor Registrasi Halal secara cepat, efisien, biaya terjangkau, dan tidak diskriminatif.


Pasal 31
Pelaku Usaha wajib:
a.    mendaftarkan Produk untuk memperoleh Sertifikat Halal dan Nomor Registrasi Halal;
b.    memberikan informasi secara benar, jelas, dan jujur dalam memperoleh Sertifikat Halal dan Nomor Registrasi Halal;
c.    mencantumkan label halal terhadap Produk yang telah mendapat Sertifikat Halal dan Nomor Registrasi Halal;
d.    memperbaharui Sertifikat Halal dan Nomor Registrasi Halal jika jangka waktu masa berlaku Nomor Registrasi Halal telah berakhir; dan 
e.    menjaga kehalalan Produk yang telah memperoleh Sertifikat Halal dan Nomor Registrasi Halal.


Pasal 32
Pelaku Usaha yang tidak melakukan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dikenai sanksi administratif berupa:
a.    peringatan tertulis; atau
b.    denda.


Pasal 33
Selain kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31, bagi Pelaku Usaha menengah dan Pelaku Usaha besar wajib mengangkat penyelia halal perusahaan.


Pasal 34
(1)  Penyelia halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 bertugas:
a.    mengawasi PPH di perusahaan;
b.    menentukan tindakan perbaikan dan pencegahan;
c.     mengkoordinasikan PPH; dan
d.    mendampingi auditor LPH pada saat pemeriksaan.
(2)  Penyelia halal perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 harus memenuhi syarat:
a.    beragama Islam;
b.    memiliki wawasan luas dan memahami syariat tentang kehalalan; dan
c.    memiliki sertifikasi dari BNP2H.
(3)  Penyelia halal perusahaan ditetapkan oleh pimpinan perusahaan dan dilaporkan kepada BNP2H.
(4)  Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelia halal perusahaan diatur dengan Peraturan BNP2H.


Pasal 35
Pelaku Usaha menengah dan Pelaku Usaha besar yang tidak mengangkat penyelia halal perusahaannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 dikenai sanksi administratif berupa:
a.    peringatan tertulis; atau
b.    pencabutan Sertifikat Halal dan Nomor Registrasi Halal.


BAB V
TATA CARA MEMPEROLEH JAMINAN PRODUK HALAL

Bagian Kesatu
Pengajuan Permohonan

Pasal 36
(1)  Pelaku Usaha mengajukan permohonan untuk memperoleh Sertifikat Halal dan Nomor Registrasi Halal kepada BNP2H.
(2)  Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menyertakan dokumen berupa:
a.    data Pelaku Usaha;
b.    nama jenis Produk;
c.    daftar seluruh bahan yang digunakan; dan
d.    penjelasan tertulis mengenai kebijakan halal, manajemen halal, proses pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian Produk.


Pasal 37
(1)  BNP2H menunjuk LPH untuk melakukan pemeriksaan terhadap Produk.
(2)  Penunjukkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak berkas permohonan dinyatakan lengkap.
(3)  Tata cara penunjukkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan


Bagian Kedua
Pemeriksaan

Pasal 38
Pemeriksaan terhadap Produk dilakukan oleh Auditor LPH.


Pasal 39
(1)  Pemeriksaan terhadap Produk dilakukan di lokasi usaha.
(2)  Dalam hal pemeriksaan Produk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memadai, dapat dilakukan pengujian di laboratorium.


Pasal 40
Dalam pelaksanaan pemeriksaan di lokasi usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1), Pelaku Usaha wajib memberikan informasi yang diperlukan kepada auditor LPH.


Pasal 41
(1)  Auditor LPH menyerahkan hasil pemeriksaan kepada BNP2H.
(2)  BNP2H meminta MUI untuk menetapkan fatwa berdasarkan hasil pemeriksaan Produk dari LPH.


Bagian Ketiga
Penetapan Fatwa


Pasal 42
MUI menetapkan status kehalalan dalam sidang komisi fatwa paling lama 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak berkas hasil pemeriksaan diterima


Pasal 43
(1)  Dalam hal MUI menilai suatu Produk telah memenuhi syarat halal yang ditentukan, MUI menyatakan Produk tersebut halal dengan penetapan fatwa halal.
(2)  Fatwa halal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat mengikat bagi penerbitan Sertifikat Halal.
(3)  Dalam hal MUI menilai terdapat unsur haram dalam suatu Produk, MUI menyatakan bahwa Produk tersebut haram dengan suatu fatwa.
(4)  MUI menyampaikan fatwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (3) kepada BNP2H.


Bagian Keempat
Penerbitan Setifikat Halal dan Nomor Registrasi Halal

Pasal 44
(1)  Produk yang telah dinyatakan halal berdasarkan fatwa halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1), BNP2H menerbitkan Sertifikat Halal dan Nomor Registrasi Halal paling lama 7 (tujuh) hari kerja.
(2)  Nomor Registrasi Halal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diumumkan dalam Berita Negara atau Berita Daerah.


Bagian Kelima
Pencantuman Label Halal

Pasal 45
(1)  Pelaku Usaha yang telah memperoleh Sertifikat Halal dan Nomor Registrasi Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1), wajib mencantumkan Label Halal dengan Nomor Registrasi Halal.
(2)  Pencantuman Label Halal dan Nomor Registrasi Halal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mudah dilihat, dibaca, tidak mudah terhapus, dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Produk Halal.


Pasal 46
(1)  BNP2H menetapkan Label Halal yang berlaku secara nasional.
(2)  Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk Label Halal diatur dalam Peraturan BNP2H.


Pasal 47
Pelaku Usaha yang mencantumkan Label Halal dan Nomor Registrasi Halal yang tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa:
a.    peringatan tertulis; atau
b.    pencabutan Sertifikat Halal.


Bagian Keenam
Pembaruan Sertifikat Halal dan Nomor Registrasi Halal

Pasal 48
(1)  Sertifikasi Halal dan Nomor Registrasi Halal berlaku selama 3 (tiga) tahun sejak diumumkan dalam Berita Negara atau Berita Daerah.
(2)  Sertifikasi Halal dan Nomor Registrasi Halal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diperpanjang oleh Pelaku Usaha dengan mengajukan pembaruan Sertifikasi Halal dan Nomor Registrasi Halal 6 (enam) bulan sebelum masa berlaku berakhir.
(3)  Ketentuan lebih lanjut mengenai pembaruan Sertifikasi Halal dan Nomor Registrasi Halal diatur dalam Peraturan BNP2H.


Pasal 49
Setiap orang yang terlibat dalam penyelenggaraan proses JPH wajib menjaga kerahasiaan formula yang tercantum dalam informasi yang diserahkan Pelaku Usaha.


Pasal 50
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara memperoleh Sertifikat Halal, memperoleh Nomor Registrasi Halal, dan pencantuman Label Halal diatur dalam Peraturan BNP2H.


Bagian Ketujuh
Biaya

Pasal 51
(1)  Setiap permohonan untuk memperoleh Sertifikat Halal dan Nomor Registrasi Halal dikenakan biaya kecuali Pelaku Usaha mikro dan Pelaku Usaha kecil.
(2)  Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).


Pasal 52
Pemerintah wajib mengalokasikan anggaran penyelenggaraan JPH melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).


Pasal 53
Ketentuan lebih lanjut mengenai biaya dan pembebasan biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 diatur dalam Peraturan Pemerintah.


BAB VI
PERAN SERTA MASYARAKAT

Pasal 54
(1)  Masyarakat dapat berperan serta dalam membantu pengawasan terhadap penyelenggaraan JPH.
(2)  Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk pengaduan atau pelaporan ke BNP2H atau perwakilan BNP2H.
(3)  Pengaduan atau pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan dalam bentuk tertulis dengan mencantumkan identitas pelapor dengan disertai bukti pendukung.


BAB VII
KERJASAMA LUAR NEGERI

Pasal 55
Dalam menjalankan tugas dan kewenangannya, BNP2H dapat melakukan kerjasama dengan pihak lain di luar negeri di bidang produk halal sesuai peraturan perundang-undangan.


Pasal 56
(1)  Produk Halal luar negeri yang akan diimpor ke Indonesia berlaku ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
(2)  Produk Halal sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) tidak perlu dilakukan pemeriksaan sepanjang telah diterbitkan sertifikat kehalalan dari negara asal yang sudah bekerjasama dengan BNP2H.
(3)  Sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib diregistrasi sebelum Produk diedarkan di Indonesia.
(4)  Sertifikat yang telah diregistrasi sebagaimana yang dimaksud pada ayat (3) dapat diperpanjang paling lama 6 (enam) bulan sebelum masa berlakunya berakhir.
(5)  Ketentuan mengenai tata cara registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan BNP2H.


Pasal 57
Pelaku Usaha yang tidak melakukan registrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (3) dikenakan sanksi administratif berupa:
a.    peringatan tertulis; atau
b.    pencabutan Sertifikat Halal.


BAB VIII
PELAPORAN

Pasal 58
(1)  BNP2H menyampaikan laporan kinerja dan keuangan kepada Presiden melalui Menteri secara berkala setiap tahun.
(2)  BNP2H dalam melaksanakan penyelenggaraan JPH membuat laporan keuangan sesuai standarisasi akutansi pemerintah


BAB IX
PENGAWASAN

Pasal 59
BNP2H atau perwakilan BNP2H melakukan pengawasan terhadap JPH.


Pasal 60
Pengawasan terhadap JPH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dilakukan terhadap Produk yang beredar di masyarakat yang diproduksi di dalam negeri atau di luar negeri.
(1)  Produk yang beredar di masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.    Produk yang belum berlabel halal; dan
b.    Produk yang telah mendapatkan Label Halal.
(2)  Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah


BAB X
KETENTUAN PIDANA

Pasal 61
(1)  Pelaku Usaha yang tidak menjaga kehalalan Produk yang telah bersertifikat halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 huruf e dipidana dengan;
(2)  Pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp.5.000.000,00 (lima juta rupiah), bagi Pelaku Usaha mikro;
(3)  Pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), bagi Pelaku Usaha kecil;
(4)  Pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah), Pelaku Usaha menengah; dan
(5)  Pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah)


Pasal 62
Pelaku Usaha yang memberikan informasi secara tidak benar yang diperlukan tim auditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).


Pasal 63
(1)  Setiap orang yang terlibat dalam penyelenggaraan proses JPH yang tidak menjaga kerahasiaan formula yang tercantum dalam informasi yang diserahkan Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(2)  Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh auditor, ancaman pidana ditambah 1/3 (satu pertiga) dari ancaman pidana pada ayat (1).


Pasal 64
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61, Pasal 62, dan Pasal 63 dilakukan oleh korporasi, ancaman pidana ditambah 1/3 (satu pertiga) dari ancaman pidana dalam Pasal 61, Pasal 62, dan Pasal 63.


BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 65
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:

a.    Sertifikat Halal yang dikeluarkan atau diakui oleh MUI sebelum Undang-Undang ini berlaku dinyatakan tetap berlaku sampai jangka waktu Sertifikat Halal tersebut berakhir;
b.    sebelum terbentuknya BNP2H atau perwakilan BNP2H, permohonan pengajuan atau perpanjangan Sertifikat Halal dilakukan sesuai dengan prosedur Sertifikat Halal yang berlaku sebelum Undang-Undang ini diundangkan.
c.    Registrasi Halal mulai diberlakukan 6 (enam) bulan setelah BNP2H dibentuk.
d.    LPH yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku, diakui sebagai LPH dan wajib menyesuaikan dengan ketentuan dalam Pasal 15 dan Pasal 16 paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini berlaku.
e.    Audiitor halal yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku, diakui sebagai auditor halal, dan wajib menyesuaikan dengan ketentuan dalam Pasal 17 paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini berlaku.
f.     Penyelia halal perusahaan yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku, diakui sebagai Penyelia halal, dan wajib menyesuaikan dengan ketentuan dalam Pasal 34 ayat (2) huruf c dan ayat (3)  paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini berlaku


BAB XII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 66
Pembentukan BNP2H sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) harus terbentuk dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.


Pasal 67
Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus telah ditetapkan paling lama 18 (delapan belas) bulan terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan


Pasal 68
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua Peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai JPH dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.


Pasal 69
Kewajiban Pelaku Usaha mendaftarkan produknya untuk memperoleh Sertifikat Halal dan Nomor Registrasi Halal sebagaimana dimaksud dalam pasal 31 huruf a serta mencantumkan Label Halal terhadap Produk yang telah mendapat Sertifikat Halal dan Nomor Registrasi Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 huruf c mulai berlaku 5 (lima) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.


Pasal 70
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.


Disahkan di Jakarta
Pada Tanggal

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA



SUSILO BAMBANG YUDHOYONO


Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,


PATRIALIS AKBAR

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN...NOMOR....



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banner 125x125 dan 160x600