I.
PENDAHULUAN
Kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan
pendapat merupakan hak yang menjadi
bagian dari hak asasi manusia. Selain dijamin melalui instrumen-instrumen internasional
yang berlaku secara universal, kebebasan berserikat, berkumpul, dan
mengeluarkan pendapat juga dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang tertuang dalam Pasal 28 E ayat (3) yang
menyatakan, “Setiap orang berhak atas berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan
pendapat.” Implementasi yang lebih
sederhana atas pelaksana hak tersebut melahirkan kemunculan organisasi
masyarakat (ormas) sebagai wadah berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan
pendapat.
Sejarah kelahiran ormas di Indonesia yang diawali dengan
munculnya kelompok masyarakat yang senang
berkumpul, memiliki arti penting bagi kelangsungan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Beberapa ormas yang ada pada masa pra kemerdekaan hingga
pascakemerdekaan terbukti memiliki andil besar dalam kelahiran Indonesia
dan memperkuat fondasi hubungan dan interaksi antara negara dan bangsa (warga negara).
Melalui Undang-Undang No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi
Masyarakat (UU Ormas), keberadaan ormas mendapatkan sejumlah restriksi,
terutama restriksi ideologi yang secara ketat
mengharuskan penempatan Pancasila sebagai asas tunggal. Tidak hanya itu,
menurut regulasi tersebut, pemerintah dapat
membekukan dan/atau membubarkan pengurus ormas tanpa melalui proses hukum apabila
ormas melakukan kegiatan yang mengganggu keamanan dan ketertiban umum, menerima
bantuan dari pihak asing tanpa persetujuan pemerintah, dan memberi bantuan
kepada pihak asing yang merugikan kepentingan negara.
Era reformasi menjadi era kebebasan bagi ormas. Berbagai ormas muncul dalam
jumlah yang tak terbendung. Menurut data Kementerian Dalam Negeri, hingga saat
ini (per Desember 2011) diperkirakan terdapat 65.577 organisasi kemasyarakatan
tersebar di Indonesia.
Beberapa ormas tersebut ada yang telah disalahgunakan untuk kepentingan sekelompok
masyarakat sehingga kehadirannya justru meresahkan masyarakat yang lain. Ormas
dalam kelompok ini secara tiba-tiba dapat menjadi gelombang massa yang berbenturan dengan kelompok
masyarakat yang lain sehingga dapat berujung pada konflik vertikal dan
horizontal di sejumlah daerah di Indonesia.
Transparansi dan pertanggungjawaban publik
juga menjadi nilai buruk bagi sebagian besar ormas di Indonesia. Tak hanya itu, beberapa
ormas sangat tergantung pada pemerintah ataupun pihak lain (dalam maupun luar
negeri) untuk mendukung seluruh kegiatannya.
Kekhawatiran terhadap
peran dan posisi ormas sebagaimana dipaparkan di atas mendorong lahirnya RUU
Ormas sebagai regulasi yang kuat bagi keberadaan ormas di Indonesia. RUU Ormas harus mampu memberikan kontribusi yang signifikan
untuk mengatur ruang lingkup dan definisi ormas secara jelas terkait dengan
aspek legal administratif. Mekanisme pemberian sanksi terhadap tindakan yang
melanggar hukum terhadap ormas tertentu harus pula menjadi konsentrasi di samping
peran pemerintah dan pemerintah daerah dalam pembinaan ormas.
Keberadaan Ormas asing yang melakukan
kegiatan di Indonesia memerlukan pengaturan tersendiri. Berdasarkan asas
teritorialitas, negara memiliki kedaulatan untuk mempertahankan tertib hukum
dalam wilayah negaranya kepada siapa saja yang berada di wilayah negara.
Berdasarkan prinsip hukum tersebut, pengaturan terhadap ormas asing yang melakukan
kegiatan untuk waktu tertentu dan berdomisili di Indonesia harus dilakukan sebagai
wujud kedaulatan negara dan dalam rangka tertib administrasi serta hukum.
II.
LANDASAN YURIDIS
1.
Pasal 22D Undang-Undang
Dasar 1945
2.
Pasal 224 ayat (1) huruf
d Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5043);
III.
TUJUAN PANDANGAN
DAN PENDAPAT
Pandangan dan pendapat ini merupakan rumusan yang disusun
berdasarkan
pengkajian secara cermat dan mendasar terhadap RUU tentang Organisasi
Masyarakat (RUU Ormas) dengan mempertimbangkan
masukan dari berbagai narasumber dan diskusi intensif yang dilakukan oleh
anggota DPD RI. Pandangan dan pendapat tersebut dimaksudkan untuk menjadi masukan bagi pembahasan RUU
Ormas sehingga rancangan undang-undang yang disusun memenuhi
aspek filosofis, sosiologis, dan yuridis yang logis, akseptabel, dan fisibel.
IV.
METODE KERJA
1.
Pencermatan RUU Ormas dan naskah akademik.
2.
Rapat Kerja
dengan Kementerian Dalam Negeri RI, 25 Januari 2012.
3.
Rapat dengar pendapat/umum dengan:
- para pakar di bidang hukum dan sosial kemasyarakatan, 18 Januari 2012;
- Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, 3 Oktober 2011;
- Pengurus Besar Nahdatul Ulama, 3 Oktober 2011;
- Pengurus Pusat Muhammadiyah, 3 Oktober 2011;
- Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam, 3 Oktober 2011; dan
- Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia.
4.
Penyerapan
aspirasi masyarakat dan daerah.
V.
PANDANGAN DAN PENDAPAT
Pandangan
dan pendapat DPD RI atas RUU Ormas adalah sebagai berikut:
A. PANDANGAN
1. Definisi Ormas
Definisi seharusnya menggambarkan ormas sebagai jenis
entitas apa serta siapa yang sebenarnya ingin diatur dalam RUU Ormas (Pasal 1
angka 1). Jika ditinjau dari latar belakang filosofis, sosiologis, historis dan
yuridis sebagaimana terjabar dalam naskah akademik, keberadaan UU Ormas
dibutuhkan sebagai landasan untuk mengatur berbagai organisasi yang ada di
masyarakat, yang beragam bentuk, sifat, karakteristik, dan cakupan wilayah
kerja menuju sebuah tertib hukum agar tercipta ketertiban umum yang
berkeadilan.
Perlu dicermati bahwa tidak semua organisasi menghendaki
dikelompokkan sebagai ormas. Dengan demikian, definisi harus mampu
menggambarkan ciri yang membedakan organisasi sebagai suatu ormas dan bukan
ormas. Pertama adalah kesukarelaan. Para pendiri harus secara sukarela menghendaki dan
menyatakan organisasi yang didirikannya sebagai ormas. Kedua adalah sistem pendaftaran. Sebuah organisasi
harus didaftarkan pada instansi terkait agar ditetapkan dan diakui menjadi
ormas.
Kedua prinsip tersebut menjadi satu kesatuan yang tidak
terpisahkan dan bukan saling melengkapi. Argumentasi di atas juga berdasarkan
pada fakta bahwa terdapat berbagai organisasi yang ada di Indonesia enggan untuk dikelompokan
sebagai ormas.
Definisi
juga perlu memberi batasan dan pengecualian bagi organisasi atau perhimpunan
yang dibentuk oleh peraturan perundang-undangan atau melalui penetapan pemerintah,
seperti pramuka, Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri), dan organisasi atau
perhimpunan yang dibentuk oleh anggota masyarakat warga negara Republik
Indonesia yang bergerak dalam bidang perekonomian, seperti koperasi, perseroan
terbatas, dan keagamaan seperti Majelis Taklim, tidak termasuk dalam pengertian
ormas. Hal ini dapat dicantumkan dalam narasi penjelasan dari definisi ormas.
2. Asas, Ciri dan Sifat
Asas
di dalam bernegara di Indonesia
adalah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Konsekuensinya, setiap bentuk wadah ataupun organisasi tidak boleh bertentangan
dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(Pasal 2-Pasal 4).
3. Fungsi, Tujuan dan Ruang
Lingkup
Karena
ormas dibentuk atas dasar sifat, karakteristik, dan kekhususan masing-masing, semestinya
ormas berusaha melakukan kegiatan sesuai dengan kepentingan para anggotanya.
Ormas juga merupakan wadah pembinaan dan pengembangan anggotanya sebagai tempat
pembinaan dan peningkatan keterampilan anggotanya yang dapat disumbangkan dalam
pembangunan nasional. Berdasarkan fungsi ormas sebagaimana diuraikan di atas,
ormas dapat bermitra atau bekerja sama dengan partai politik, pihak swasta,
atau pemerintah tanpa kehilangan sifat, karakteristik, dan kekhususannya (Pasal
5-Pasal 7).
4. Pendirian dan Bentuk Ormas
Ormas harus berbadan hukum. Subjek hukum dari RUU Ormas
adalah ormas. Oleh karena itu, berdasarkan teori hukum, ormas harus berbentuk
badan hukum yang bisa dikenai kewajiban hukum dan hak-hak hukum. Jika berbentuk
badan hukum, ormas akan mudah dibina, diawasi, dan didata serta
dipertanggungjawabkan secara hukum, baik secara kelembagaan maupun secara
individu anggota ormas (Pasal 8-Pasal 14).
Terkait
dengan kekhawatiran legalitas masyarakat hukum adat atau lembaga adat dalam RUU
ini, legalitas masyarakat hukum adat atau lembaga adat diperoleh dari peraturan
perundang-undangan lainnya, antara lain Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang
Pokok-Pokok Agraria serta Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
yang mengakui eksistensi masyarakat adat dan hak-hak adatnya.
5. Pendaftaran Ormas
Jika
mengacu pada paparan di atas, pendaftaran menjadi salah satu syarat dan
kewajiban hukum untuk dapat diakui sebagai ormas. Pendaftaran ormas bukan sebagai
pengekangan atau pengawasan pemerintah terhadap kegiatan ormas sebagaimana yang
pernah terjadi pada masa lalu. Pendaftaran dimaksudkan untuk tertib
administratif. Mekanisme pendaftaran terhadap ormas harus terintegrasi pada
pembinaan dan pemberdayaan ormas yang dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah
daerah agar ormas menjalankan kegiatan sesuai dengan fungsi, maksud, dan
tujuannya (Pasal 15-Pasal 18).
6. Hak
dan
Kewajiban Ormas
Ormas berhak untuk menjalankan kegiatannya sesuai dengan
tujuan organisasi serta berhak mendapatkan pembinaan dan bantuan dari
pemerintah. Adapun kewajiban ormas adalah menjaga keutuhan Pancasila, UUD 1945,
Bhineka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia; menjaga ketertiban
umum; memelihara nilai-nilai agama; serta menjaga kearifan lokal untuk memberi
kemanfataan pada masyarakat (Pasal 19-Pasal 20).
Yang
dimaksud dengan kemanfaatan adalah bahwa ormas harus melakukan berbagai
kegiatan dalam rangka memberdayakan masyarakat sehingga cita-cita pembangunan
nasional sebagaimana tersebut dalam pembukaan UUD 1945 dapat tercapai.
7. Pembinaan Ormas
Pembinaan
terhadap ormas harus dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah sebagai
konsekuensi dari kewajiban pendaftaran. Pembinaan tersebut meliputi aspek
kelembagaan dan aspek kapasitas sumber daya manusia berkenaan dengan pemahaman
ideologi dan wawasan kebangsaan.
8. Keuangan
Ormas
Keuangan organisasi kemasyarakatan dapat diperoleh dari
(i) iuran anggota, (ii) usaha lain yang sah, dan/atau (iii)
bantuan/hibah/sumbangan yang tidak mengikat dari pemerintah atau swasta, baik dari
dalam maupun dari luar negeri (Pasal 33-Pasal 34).
Mekanisme
bantuan/hibah/sumbangan yang bersumber dari APBN/APBD dilaksanakan berdasarkan
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 32 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pemberian
Bantuan Dana Hibah dan Bantuan Sosial, sedangkan untuk bantuan/hibah/sumbangan
yang bersumber dari luar negeri karena telah ada Peraturan Menteri Dalam Negeri
No. 38 Tahun 2008 tentang Penerimaan dan Pemberian Bantuan Organisasi
Kemasyarakatan dari dan kepada Pihak Asing, RUU Ormas tidak perlu mengatur hal
tersebut secara terperinci.
9. Ormas Asing
Berdasarkan asas teritorialitas, negara memiliki
kedaulatan untuk mempertahankan tertib hukum dalam wilayah negaranya kepada
siapa saja yang berada di wilayah negara. Berdasarkan prinsip hukum tersebut, pengaturan
terhadap ormas asing yang melakukan kegiatan untuk waktu tertentu dan berdomisili
di Indonesia
harus dilakukan sebagai wujud kedaulatan negara dan dalam rangka tertib
administrasi serta hukum (Pasal 39-Pasal 43).
10. Peran
Pemerintah
Daerah
RUU
Ormas tidak secara spesifik mencantumkan peran pemerintah daerah dalam hal
pendaftaran, pembinaan, dan pengawasan ormas, termasuk penegakan hukum atas UU
Ormas. Padahal hal-hal yang terkait dengan kemasyarakatan berada pada bidang
kesatuan bangsa dan politik dalam negeri menjadi salah satu urusan pemerintahan
yang dilimpahkan kewenangannya kepada pemerintah daerah sebagaimana disebut
dalam Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah
Kabupaten/Kota.
11. Larangan
dan Sanksi
Materi muatan ketentuan larangan dalam naskah RUU Ormas
sangat luas dan berpotensi mengkriminalkan ormas (Pasal 50-Pasal 53). Empat hal
yang secara prinsip menjadi larangan bagi ormas adalah sebagai berikut. Pertama, ormas dilarang melakukan
kegiatan yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD Tahun 1945. Kedua, ormas dilarang melakukan kegiatan
yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Ketiga, ormas dilarang melakukan kegiatan yang membahayakan
keutuhan dan keselamatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Keempat, ormas dilarang melanggar ketentuan pendaftaran ormas.
Sanksi yang diberikan harus bertingkat, mulai dari sanksi
yang bersifat ringan hingga sanksi yang terberat. Bentuk-bentuk sanksi tersebut
dapat berupa sanksi administratif dan sanksi pidana. Sanksi administratif
terdiri atas teguran tertulis, pembekuan, dan pembubaran ormas, sedangkan sanksi
pidana merujuk pada ketentuan kitab undang-undang hukum pidana.
Untuk
mencegah terjadinya tindakan sewenang-wenang dari pemerintah dan agar sesuai dengan
asas praduga tak bersalah (presumption
of innocence), terdapat prosedur administratif dan hukum yang harus
diikuti dalam pemberian sanksi tersebut.
B. PENDAPAT
1.
Definisi
Ormas
Berdasarkan pandangan yang telah diuraikan di atas, DPD RI
berpendapat dan merekomendasikan definisi ormas sebagai berikut.
Organisasi Masyarakat
adalah organisasi yang didirikan oleh warga negara Indonesia secara sukarela
atas dasar kesamaan kegiatan, profesi, fungsi, dan agama untuk berperan serta
dalam pembangunan dalam rangka mencapai tujuan nasional dalam wadah Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan yang terdaftar pada
instansi berwenang (Pasal 1 angka 1)
2.
Asas,
Ciri dan Sifat
Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan asas dan
landasan kehidupan serta pedoman dalam melaksanakan kebebasan berserikat dan
berkumpul. Dengan demikian, ketentuan Asas Ormas tidak boleh bertentangan
dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
dalam draft RUU Ormas tetap dipertahankan (Pasal 2).
3.
Tujuan,
Fungsi dan Ruang Lingkup
Berkenaan
dengan tujuan Ormas, DPD RI berpendapat dan merekomendasikan sebagai
berikut.
Penyempurnaan
Pasal 5 dalam hal sistematika penyusunan urutannya sehingga narasinya sebagai
berikut.
Ormas
bertujuan untuk:
a. Menjaga
nilai-nilai agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa;
b. Mewujudkan
tujuan negara;
c. Meningkatkan
partisipasi dan keberdayaan masyarakat;
d. Memberikan
pelayanan kepada masyarakat;
e. Melestarikan
budaya, sumber daya alam, dan lingkungan hidup dan/atau;
f.
Memperkuat persatuan bangsa.
Terkait dengan pandangan DPD RI atas fungsi, tujuan
dan ruang lingkup ormas, DPD
RI berpendapat dan
merekomendasikan sebagai berikut.
Melengkapi
substansi Pasal 6 tentang fungsi ormas sehingga narasinya menjadi seperti
berikut.
Pasal 6
Ormas berfungsi sebagai:
a. sarana mewujudkan tujuan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara
b. wadah peran serta, pembinaan, dan pengembangan anggota
dalam memperkuat persatuan
c. wadah pembinaan, kepemimpinan, dan peningkatan
keterampilan yang dapat disumbangkan dalam pembangunan nasional.
d. wadah penyalur kegiatan sesuai dengan kepentingan
anggota;
e. wadah pembinaan dan pengembangan anggota untuk mewujudkan
tujuan organisasi;
f. sarana penyalur aspirasi masyarakat; dan
g. wadah pemberdayaan
masyarakat;
4.
Pendirian
dan Bentuk Ormas
DPD RI berpendapat organisasi
yang tidak berbadan hukum tidak perlu diatur dan dikelompokan sebagai ormas
sebab secara entitas tidak diakui sebagai subjek hukum. Demikian pula seluruh
ketentuan terkait ormas yang berbadan hukum tidak perlu dicantumlam dalam RUU Ormas
sebab telah ada regulasi tersendiri yang mengaturnya, yaitu Undang-Undang No.
16 Tahun 2001 tentang Yayasan dan regulasi perkumpulan, yakni Staatblad 1870
No. 64 dan KUH Perdata.
Sehubungan dengan hal tersebut, DPD RI
secara konkrit merekomendasikan sebagai berikut:
a.
menghapus
Pasal 8;
b.
memperbaiki
narasi Pasal 9 sehingga berbunyi Ormas
harus berbentuk badan hukum Indonesia
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan
c.
menghapus
Pasal 10 s.d. Pasal 14.
5.
Pendaftaran
Ormas
Setelah
memperoleh pengesahan sebagai badan hukum dari Kementerian Hukum dan HAM RI,
ormas berbadan hukum wajib mendaftarkan organisasinya kepada Kementerian Dalam
Negeri, pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah kabupaten/kota bagi ormas
nasional/daerah atau kepada Kementerian Luar Negeri bagi ormas asing. Mekanisme
pendaftaran ormas diatur lebih lanjut dengan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan
hal tersebut, DPD RI merekomendasikan:
a. merevisi Pasal 15 sehingga narasinya berbunyi:
Pasal 15
(1) Pendaftaran
ormas dilakukan setelah ormas memperoleh status badan hukum dari kementerian
terkait.
(2) Mekanisme
pendaftaran ormas diatur lebih lanjut dengan peraturan pelaksanaan.
b. menghapus
Pasal 16 s.d. Pasal 18.
6.
Hak,
dan Kewajiban Ormas
Terkait dengan pandangan DPD RI atas hak, dan
kewajiban ormas, DPD RI berpendapat dan merekomendasikan sebagai berikut.
a. Menyempurnakan
Pasal 19 tentang Hak Ormas menjadi sepert berikut.
Pasal 19
Ormas
berhak menjalankan kegiatannya sesuai dengan tujuan organisasi dan mendapatkan
pembinaan, pelindungan hukum, serta bantuan dari pemerinta
a. Menyempurnakan
narasi Pasal 20 sehingga berbunyi:
Pasal 20
Ormas
berkewajiban:
a. menjaga keutuhan Pancasila, UUD 1945,
Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara kesatuan RI;
b. mendukung tercapainya tujuan negara.
c. melaksanakan kegiatan sesuai dengan tujuan organisasi;
d. memelihara nilai-nilai agama, kearifan lokal, dan
memberikan kemanfaatan untuk masyarakat;
e. menjaga ketertiban umum dan terciptanya kedamaian di
dalam masyarakat; dan
f. melakukan pengelolaan keuangan secara transparan dan
akuntabel;
7.
Pembinaan
Ormas
DPD
RI berpendapat
RUU Ormas harus memuat materi pembinaan terhadap ormas. Oleh karena itu,
direkomendasikan penambahan satu pasal di dalam Bab Pemberdayaan (Bab XIII)
tentang pembinaan Ormas dengan narasi sebagai berikut:
Pasal 39 (tambahan)
(1)
Pembinaan terhadap ormas
harus dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah sebagai konsekuensi dari
kewajiban pendaftaran.
(2)
Pembinaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi aspek kelembagaan dan kapasitas sumber daya
manusia.
8.
Keuangan
Ormas
Pasal 33 dalam naskah RUU Ormas
dipertahankan, disempurnakan, dan ditambahkan satu ayat, sedangkan Pasal 34
dihapus sehingga redaksinya berbunyi:
Pasal 33
(1) Keuangan ormas dapat bersumber dari:
a. iuran
anggota;
b. bantuan dari pemerintah dan/atau pemerintah daerah;
c. sumbangan masyarakat yang tidak mengikat;
d. bantuan/sumbangan
dari orang asing atau lembaga asing yang tidak mengikat;
e. hasil
usaha ormas; dan
f. kegiatan
lain yang sah menurut hukum.
(2) Keuangan organisasi sebagaimana dimaksud ayat (1) harus
dikelola secara transparan dan bertanggung jawab.
(3) Dalam hal melaksanakan prinsip sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), ormas wajib menggunakan rekening pada bank nasional.
(4)
Ketentuan lebih lanjut tentang keuangan ormas diatur dalam peraturan
menteri dalam negeri.
9.
Ormas
Asing
Muatan
materi tentang Ormas asing sebagaimana disebut dalam Pasal 39 sampai dengan
Pasal 43 dipertahankan.
C. Peran Pemerintah Daerah
Merekomendasikan
adanya pasal tersendiri terkait dengan peran pemda untuk memperkuat peran pemda
selain yang telah tertuang dalam beberapa pasal yang ada, khususnya yang
menyangkut pemanfaatan sumber pendanaan yang berasal dari APBD untuk kegiatan
ormas, baik dalam rangka pengembangan institusi maupun peningkatan kualitas
sumber daya manusia.
Pasal Baru
Pemerintah
daerah wajib mengalokasikan APBD untuk pembinaan dan pengembangan ormas, baik
dalam rangka pengembangan institusi maupun peningkatan kualitas sumber daya
manusia yang persyaratan dan ketentuannya diatur oleh pemda.
D. Larangan dan Sanksi
DPD
RI berpendapat untuk menyederhanakan rumusan terkait larangan ormas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 50 sehingga pasal tersebut ditiadakan, sedangkan terhadap Pasal
51 tetap dipertahankan. Oleh karena itu, narasi Pasal 50 berbunyi sebagai
berikut.
Pasal
50
Ormas
dilarang melakukan:
a. kegiatan
yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD Tahun 1945;
b. kegiatan
yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
c. kegiatan
yang mengancam keutuhan dan keselamatan Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan
d. pelanggaran
ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan ormas.
VI.
SIMPULAN DAN REKOMENDASI
A.
SIMPULAN
1. Pembentukan
organisasi masyarakat merupakan hak dasar warga negara yang dijamin secara
konstitusional di dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Keberadaan organisasi
masyarakat membutuhkan pengaturan untuk memastikan kapasitas dari ormas serta
tercapainya ketertiban dan kepastian hukum di masyarakat.
2. Pendirian
ormas didasarkan pada kesukarelaan pendirinya untuk membentuk ormas dan didasarkan
atas kesamaan kegiatan, profesi, fungsi, dan agama dengan persyaratan berbadan
hukum serta terdaftar pada instansi yang terkait. Pendaftaran itu sendiri
dimaksudkan dalam kerangka tertib administratif serta harus terintegrasi dengan
sistem pembinaan dan pemberdayaan ormas yang dilakukan oleh pemerintah pusat ataupun
daerah agar ormas menjalankan kegiatan sesuai dengan fungsi, maksud, dan tujuan
pendiriannya.
3. Keberadaan
ormas asing diperbolehkan setelah memperoleh izin operasional dari instansi
yang berwenang. Selain itu, kegiatan ormas asing tidak boleh bertentangan
dengan Pancasila, UUD Tahun 1945, dan peraturan perundang-undangan.
4. Keuangan
ormas dapat diperoleh melalui iuran anggota, bantuan pemerintah dan/atau
pemerintah daerah, sumbangan masyarakat yang tidak mengikat, dan
bantuan/sumbangan dari orang asing atau lembaga asing yang tidak mengikat,
hasil usaha ormas, dan/atau kegiatan lain yang sah menurut hukum. Teknis dan
mekanisme keuangan ormas diatur lebih lanjut di dalam Peraturan Menteri Dalam
Negeri.
5. Pemerintah
daerah memiliki peran penting dalam meningkatkan kapasitas dan kualitas
pendataan, pengawasan, serta pembinaan dan evaluasi terhadap organisasi
kemasyarakatan di daerah yang terintegrasi dalam mekanisme pendaftaran terhadap
organisasi masyarakat dengan memperhatikan asas keadilan, transparansi,
akuntabilitas, dan tertib hukum.
B. REKOMENDASI
Komite
III DPD RI merekomendasi hal-hal berikut:
1. merevisi
rumusan pengertian organisasi masyarakat dengan memuat karakteristik atau
syarat dari pembentukan ormas, yakni didasarkan pada kesukarelaan, berbadan
hukum, dan didaftarkan pada instansi yang berwenang dengan berlandaskan pada
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. mengakomodasi
materi muatan yang menjamin kebebasan mendirikan ormas dengan memperhatikan
aspek pembinaan, pengawasan, dan penegakan hukum oleh pemerintah serta pemerintah
daerah; dan.
3. mendorong
pengaturan ormas yang dapat memberikan penguatan kepada kemandirian ormas dalam
memberdayakan masyarakat.
VII.
PENUTUP
Pandangan dan pendapat DPD
RI atas Rancangan Undang-Undang Tentang
Organisasi Masyarakat ini dimaksudkan untuk menjadi pertimbangan DPR
RI dalam melakukan pembahasan
terhadap rancangan undang-undang di maksud.
.
Ditetapkan
di Jakarta
pada
tanggal ............. 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar