Kekerasan yang terjadi disebabkan banyak
faktor, ibarat api dalam sekam, sekecil
apapun penyebabnya dapat berujung pada kekerasan dan penghilangan nyawa.
Sebagai contoh bagaimana seorang pencuri sepeda motor (terlepas salah atau
benarnya tindakan pencurian tersebut) harus berakhir dengan dibakar oleh massa
hanya gara2 mencuri sebuah sepeda motor. Kemudian eksekusi lahan yang
melibatkan aparat keamanan yang berawal
dari bentrok fisik, penggunaan kekerasan fisik sampai kepada hilangnya nyawa.
Begitu juga kita lihat bagaimana tawuran antar pelajar atau mahasiswa yang
melibatkan senjata tajam, tidak segan-segan untuk menghabisi atau melukai
lawannya dengan akibat yang maksimal.
Dan baru-baru ini bentrokan yang tidak
seimbang antara aparat keamanan (polisi)
dengan masyarakat pengunjuk rasa di Bima dan Mesuji serta Pulau Padang yang
menyebabkan korban jiwa dan luka-luka. Agak aneh jika kemudian aparat keamanan
sebagai simbol perlindungan negara kepada rakyatnya justru bertindak narsis dan
anarkis kepada masyarakatnya, apalagi hal itu dilakukan hanya untuk mengamankan
aset suatu perusahaan yang bumi, air dan udaranya dimiliki masyarakat itu sendiri (Pasal 33 UUD 1945).
Timbul pertanyaan dibenak, apakah sudah
menjadi lumrah bahwa masyarakat Indonesia senang dengan kekerasan, penyelesaian
masalah lebih suka diselesaikan dengan kekerasan?Apakah kekerasan menjadi watak
manusia Indonesia ataukah memang watak manusia pada umumnya?Bagaimana upaya
mengatasi kekerasan dimasyarakat dan
dimana peran negara ?Pertanyaan-pertanyaan tersebut coba dijawab dengan metode
psikologi Sigmund Freud, Lorenz, dan Erich
Fromm.
Sigmund
Freud, Konrad Lorenz, dan Erich Fromm
Freud dengan teori instingnya mengatakan bahwa
manusia tidak akan pernah lepas dari insting dominannya, yaitu insting seksual
dan insting mempertahankan diri, yang lantas ini diperbarui kembali dengan konsepnya
yang menyatakan tentang insting eros (kehidupan) dan insting kematian. Para
penganut Freud mengkompromikan insting destruktif sebagai kutub lain dari
insting seksual. Sebaliknya, insting kematian bisa menjadi picu merusak diri,
atau kecenderungan merusak pihak lain. Hal ini merupakan pengembangan dari
asumsi dasar bahwa manusia berada dalam pengaruh dorongan untuk merusak, serta
pilihan untuk lepas dari pengaruh tersebut. Sehingga kecenderungan agresi,
bukan reaksi atas stimulan yang muncul melainkan memang berasal dari dalam diri
manusia sendiri. Pendek kata, bahwa perilaku agresi manusia adalah tak lepas
dari hasratnya sebagai manusia.
Sedangkan Lorenz mengatakan bahwa kekerasan adalah faktor biologis
di luar kendali manusia yang disebabkan kondisi sosial, politik dan ekonomi
yang diciptakan oleh manusia sendiri. Energi yang mengumpul dan mengendap siap
meledak, meski tanpa adanya stimulan (pemicu). Dengan kata lain, bahwa
sebenarnya agresi sudah ada dan terpasang pada diri tiap manusia. Sehingga dengan
stimulan paling kecil pun, atau tanpa adanya stimulan, agresi tersebut tetap
akan mencari pelampiasan. Dan dibentuknya partai politik oleh manusia adalah
guna menemukan stimulan untuk melepaskan energi agresi yang tertekan.
Erich Fromm menguraikan agresi dengan pendekatan psikoanalisis.
Merupakan teori tentang upaya non nurani, resistensi, pemalsuan realita menurut
kebutuhan subjektif, harapan, karakter dan konflik antara upaya-upaya berhasrat
yang terkandung di dalam ciri pembawaan dengan tuntutan pemertahanan-diri.
Sehingga sejauh mana seseorang dapat menekan hasratnya bukan hanya tergantung
pada faktor internal diri seseorang, melainkan juga pada situasi. Dengan
demikian agresi sama sekali bukan satu-satunya bentuk reaksi terhadap ancaman,
meski pada umumnya semua kondisi yang memicu timbulnya perilaku agresif adalah
ancaman terhadap kepentingan hayati. Dalam bentuk yang lebih kompleks adalah
ancaman terhadap kebutuhan akan ruang fisik dan atau terhadap struktur sosial
suatu kelompok
Akar
Kekerasan Masyarakat Indonesia
Freud meyakini bahwa tindakan kekerasan yang
dilakukan masyarakat tidak terlepas dari faktor individu yang membentuk
masyarakat itu sendiri yang memang memiliki sifat agresif dalam dirinya yang
cenderung merusak diri atau orang-orang yang ada disekitarnya, dikenal dengan insting kematian. Stimulan
bukan merupakan faktor penentu terjadinya tindakan kekerasan. Kemampuan
mengendalikan diri akan menekan tindakan kekerasan. Dapat dengan agama, norma
adat, dan pendidikan yang baik.
Lorenz menekankan bahwa tindakan kekerasan
disebabkan oleh faktor biologis diluar kendali manusia yang dipengaruhi oleh
kondisi sosial-ekonomi-politik yang ada. Stimulan sekecil apapun akan memicu
tindakan kekerasan tersebut. Untuk
mencegah atau mengurangi efek kekerasan, tidak ada cara lain kecuali dengan
menciptakan sistem sosial-ekonomi-politik yang baik dan kondusif.
Erich Fromm mengambil jalan tengah dengan
mengatakan bahwa tindakan kekerasan dipengaruhi oleh kedua faktor tersebut,
berasal dari dalam diri manusia yang kemudian bercampur dengan kondisi
eksternal (sosial-ekonomi-politk) yang menyebabkan terjadinya stimulan untuk
melakukan tindakan kekerasan. Tindakan kekerasan tidak cukup hanya dengan
pengendalian internal diri akan tetapi juga dengan menyingkirkan stimulan
dengan menciptakan lingkungan sosial-ekonomi-politik yang baik dan berkeadilan.
Berkaca pada ketiga terori tersebut, kekerasan
yang terjadi di Indonesia lebih banyak disebabkan oleh dua faktor; faktor yang berasal dari dalam diri masyrakat
Indonesia sendiri yang memang menyimpan potensi (hasrat) melakukan tindakan
kekerasan. Potensi ini kemudian terus meningkat seiring dengan kondisi
sosial-ekonomi-politik yang tidak membaik.
Tingkat kemiskinan, pengangguran, pendidikan,
agama dan norma yang semakin tidak jelas arahnya ditambah dengan
kebijakan-kebijakan yang tidak memihak kepentingan masyarakat seolah menjadi
legitimasi legalnya tindakan kekerasan bahkan menjadi wajib mengingat kalau
tidak rusuh dan berdarah-darah, negara seolah bungkam.
Potensi ini kemudian akan terus menumpuk
semakin lama tertahan akan semakin besar potensi kekerasan yang akan
ditimbulkan. Oleh karena itu, stimulan sekecil apapun menyebabkan tindakan
kekerasan menjadi luas dan ibarat bola salju akan terus berlanjut sampai kepada
salah satu pihak atau individu merasa puas atau dihentikan dengan tindakan
kekerasan juga.
Dialog sangat penting untuk mengurangi efek
domino tindakan kekerasan. Akan tetapi dialog hanya bisa menyelesaikan persoalan
sesaat, tidak berjangka panjang. Dialog harus dibarengi dengan tindakan nyata
perbaikan kondisi sosial-ekonomi-politik masyarakat secepat mungkin. Mekanisme
komplain perlu di tindaklanjuti dengan arif dan bijaksana, tidak hanya sebatas
data yang kemudian menjadi statistik, tidak diperbaiki. Kecenderungan defensif
akan menjadi stimulan baru bagi tindakan kekerasan di masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar