Iklan Premium

Judul Iklan

Isi Potongan Iklan
Dikirim oleh : Nama Pengirim, Alamat, No Telp | Kunjungi Website

KONFLIK AGRARIA


Beberapa hari ini halaman depan mass media dipenuhi dengan informasi terjadinya konflik pertanahan di Indonesia. Konflik pertanahan bukan lah hal baru, mulai dari zaman kemerdekaan, Orde Baru, dan sekarang era Reformasi, konflik pertanahan masih setia menghiasi salah satu dinding dari potret wajah Indonesia kita ini.

Merujuk pada konflik agraria Mesuji yang terjadi dilampung dan Sumsel serta Kepualauan Meranti (Pulau Padang), terlihat bahwa konflik tersebut sudah terjadi sekian lama. Di mesuji sudah terjadi sejak tahun 2009 dan berlanjut sampai dengan sekarang (Desember 2011). Sedangkan di Pulau Padang dari tahun 2009 semenjak SK menhut diterbitkan dan berlangsung sampai dengan sekarang (Desember 2011). Terlepas dari karekteristik konflik yang terjadi, hulunya adalah tidak tertatanya hukum agraria dengan baik.

Sejarah Hukum Agraria Indonesia
Sebelum Berlakunya UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria (UUPA), ada beberapa ketentuan yang mengatur masalah pertanahan, yaitu:
  1. Ketentuan-ketentuan yang tunduk pada hukum perdata Barat
  2. Ketentuan-ketentuan yang tunduk pada hukum Adat
Pada masa Pemerintahan Belanda banyak ada peraturan-peraturan yang mengatur masalah pertanahan di Indonesia seperti:
  1.  Agrarische Wet / Stb. No. 108 tahun 1870
  2. Algemeen Domeinverklaring / Stb. 199a tahun 1875
  3. Domeinverklaring / Stb. No. 118 tahun 1870 
  4. Domeinverklaring untuk Sumatera / Stb. No. 94 f tahun 1874
  5. Domeinverklaring untuk keresidenan Manado / Stb. No. 55 tahun 1877
  6. Koninlijk Besluit tgl. 16 April 1872 No. 29 / Stb. No. 117 tahun 1870  
  7. Ketentuan-ketentuan yang diatur dalam buku II KUH Perdata Indonesia sepanjang mengenai hypotheek.
Peraturan-peraturan tersebut diatas dengan berlakunya ketentuan UUPA nomor 5 tahun 1960 maka ketentuan tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi, karena tidak sesuai lagi dengan cita-cita bangsa Indonesia untuk meningkatkan taraf hidup dan meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia khususnya bagi petani penggarap.

Negara Republik Indonesia dihuni berbagai suku, adat istiadat dan beragam agama. Adanya bermacam-macam suku atau adat istiadat memberikan hak kepada masyrakat untuk menguasai, mengusahai, atau mengerjakan lahan disuatu daerah tertentu.

UUPA Nomor 5 tahun 1960
Dengan berlakunya UUPA, keanekaragam suku bangsa tersebut akan terlihat yang sama sekali tidak membedakan antar suku atau adat istiadat didalam mengusai dan memiliki lahan-lahan tersebut. Artinya, hukum adat tersebut harus dilhilangkan sifat kedaerahannya dan harus bersifat Nasional. Dalam prakteknya, hingga saat ini belum ada ketentuan yang mengatur  bahwa ketentuan-ketentuan mengenai pertanahan yang tunduk kepada ketentuan hukum adat  diharuskan untuk dikonversi kedalam UUPA Nomor 5 tahun 1960, namun adapun bukti hak yang telah diterbitkan hanya merupakan alas hak untuk memperoleh hak-hak yang diatur didalam ketentuan UUPA Nomor 5 tahun 1960
 

Alternatif Solusi Penyelesaian
Konflik pertanahan akan selalu ada dan kemungkinan besar akan semakin bertambah luas mengingat kebuutuhan akan tanah semakin tinggi seiring dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi dan jumlah penduduk. Langkah pertama yang dapat dilakukan adalah dengan membenahi sistem hukum agraria kita. UUPA sampai saat ini belum mengakui kekuatan hukum adat (tanah ulayat) sebagai bagian dari hukum positif yang memiliki kekuatan hukum tetap dan pasti. Walaupun beberapa daerah membuat Perda yang mengakomodir tanah ulayat, akan tetapi hal itu hanya berlaku sektoral (terbatas) di daerah tersebut.

RUU Pengelolaan Sumberdaya Alam, RUU Pertanahan, RUU Pengambilan Tanah Untuk Kepentingan Pembangunan, RUU Hak Atas Tanah, RUU Pengadilan Keagrariaan, RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, dan RUU perubahan atas UU Penetapan Luas Tanah Pertanian. Harmonisasi perlu dilakukan mengingat tujuan pembuatan hukum adalah untuk menciptakan keteraturan, ketertiban dan rasa aman bagi masyarakat.

Solusi kedua adalah, mekanisme resolusi konflik yang tidak berat sebelah dan menguntungkan pemilik modal.  Mekanisme resolusi konflik yang baik akan menimbulkan rasa kepuasan dan keadilan bagi masyarakat. Arbitrasi memang diperlukan, akan tetapi merupakan langkah terakhir dalam penyelesaian konflik agraria. Penyelesaian dengan mengedepankan pendekatan sosial budaya dan sosio-historis sangat penting. Dikarenakan tanah-tanah tersebut dimiliki masyarakat secara turun-temurun dan memiliki sejarah yang panjang. Penyelesaian yang a-historis akan menyebabkan timbulnya konflik baru.

Solusi ketiga adalah percepat sertifikasi tanah. Memang pada hakekatnya tanah tersebut milik negara dan negara bebas menggunakan tanah tersebut untuk kepentingan masyarakat. Akan tetapi, penafsiran kepentingan masyarakat yang salah menyebabkan tanah dijadikan sebagai obyek komersialisasi yang merugikan masyarakat setempat. Dengan sertifikasi, masyarakat memiliki kekuatan yang cukup dalam bertarung dipengadilan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banner 125x125 dan 160x600