Iklan Premium

Judul Iklan

Isi Potongan Iklan
Dikirim oleh : Nama Pengirim, Alamat, No Telp | Kunjungi Website

TANAH BAPAK TUKANG BECAK

Becak tua itu menggelinding pelan. Setelah sesak sumpeknya kereta malam yang baru saja saya tumpangi, becak itu benar-benar sebuah pelepasan. Pelan-pelan, ia menyusuri dini hari yang masih sepi. Beberapa orang bersepeda dengan tumpukan tinggi sayur segar di keranjangnya, menyapa ramah pengayuh becak yang saya tumpangi. Salah satu diantaranya berhenti beberapa puluh meter di depan kami, menghampiri penjual bubur nasi pelanggan sayurnya yang masih sibuk menata meja.

Kembali, ia menyapa bapak tukang becak, ”masih kuat, paman?”

Ditengah belaian angin pagi yang membuat saya terkantuk-kantuk, keanehan sapaan itu cukup kuat untuk membuat saya menoleh ke belakang melihat bapak tukang becak: seorang tua dengan rahang kuat menonjol berikut kerut-kerut yang tidak membuatnya tampak ringkih, tapi malah menguatkan kesan gigih. Ia mengangguk tegas kepada penyapanya.

Setelah melewati tikungan, terlihat sebuah warung kecil yang telah ramai oleh pengunjung. Ketika saya tawarkan untuk sarapan, bapak itu hanya mempersilakan tanpa mengiyakan.

Ah, sebuah warung yang menyenangkan. Kehangatan deretan lauk dan kepulan nasinya berpadu indah dengan gurauan akrab para pengunjungnya. Dengan sangat ramah, mereka menyapa. Tapi, keramahan mereka begitu berlipatganda ketika mengenali bapak tukang becak dan menyapanya. Dan meskipun semua orang menawari hangatnya kopi atau wanginya teh melati, ia tetap memilih untuk duduk di luar warung. Seorang pemuda tegap yang kelihatannya mau berangkat bekerja, dengan sigap mengambil beberapa potong tempe goreng, meletakkannya dalam piring kecil tatakan kopinya dan menyuguhkan kepada bapak tukang becak.

Rasa penasaran mendorong saya untuk bergeser mendekat kepada seorang petani pengunjung warung yang kakinya masih basah berlumur lumpur, dan bertanya, ”bapak kenal dengan tukang becak itu? Sepertinya semua orang yang kami lewati sangat menghormatinya”.

Setelah ia tuntaskan hirupan tehnya, ia mengangguk dan menjelaskan, ”Bapak itu tinggal di desa sebelah. Saya bekerja menggarap sawah bersama adiknya.”

Ia kemudian menjelaskan bahwa bapak tukang becak itu tinggal bersama adiknya. Sejak belasan tahun yang lalu, ia berikan jatah tanah sawah warisannya untuk adiknya, agar adiknya punya sawah yang cukup luas untuk menghidupi keluarganya. Ia sendiri yang kemudian memilih untuk mengayuh becak, dengan alasan mengayuh becak cukup untuk hidup sendiri, karena ia tak punya anak dan istri untuk dihidupi. Untuk membuktikan kesungguhannya, ia kemudian mendaftar ke komunitas pengayuh becak di stasiun kecil tempat kereta menurunkan saya tadi.

Setelah mempersilakan saya menghirup teh melati yang disuguhkan pemilik warung, ia meneruskan ceritanya setelah menghela nafas agak lama.
“Lima tahun yang lalu, ketika berusia 65 tahun, bapak itu sakit keras.”

Sungguh, saya tak bisa menduga, kemana arah ceritanya. Apalagi petani itu seperti meletakkan bapak tukang becak di altar pemujaan dengan gaya berceritanya.

Masih dengan penuh kekaguman, ia meneruskan ceritanya. Menurutnya, bapak tukang becak itu sangat mencintai sawahnya dan sangat ahli menanam padi. Setelah mukzizat yang tiba-tiba saja menyembuhkannya 5 tahun lalu (bahkan ketika warga desa mengira ia sudah meninggal), bapak tukang becak itu sempat berhenti mengayuh becak dan sering terlihat menghabiskan waktunya tercenung di sisi halaman rumah yang berbatasan dengan hamparan sawah.

Adiknya pernah menawarkan sawahnya kembali dengan ditambah penjelasan, bahwa sawah milik mereka saja bagaimanapun juga tidak mencukupi untuk menghidupi keluarganya. Itu sebabnya ia masih menggarap sawah orang lain. Ia juga menyatakan bahwa ada beberapa orang yang sudah menawarkan sawahnya untuk digarap.

Dengan tegas, bapak tukang becak itu menolak. Ia sampaikan pada adiknya, bahwa mengayuh becak adalah pilihan paling tepat untuknya. Ia juga menjelaskan pada adiknya, bahwa meskipun ia sering terlambat membayar uang kas mingguan Rp. 2.000 ke komunitasnya, tetapi ketika sakit ia tetap dijenguk dan dibawakan oleh-oleh makanan kesukaannya. Teman-temannya yang ditumpangi pedagang sayur langganannya ketika ia sakitpun, tetap memberikan ongkos perjalanan becak sang pedagang sayur kepadanya. Dan untuk alasan-alasan itu pula, sawah sang adik ditolaknya.

Saya terperanjat ketika mengingat, bahwa orang yang sedang kami bincangkan hanya berjarak sehelai papan dinding warung. Petani itu tak tampak khawatir dan menceritakan bahwa pendengaran bapak tukang becak itu sudah sangat berkurang terkikis umurnya. Ia bahkan memohon kepada saya untuk berganti becak atau ojek saja, setelah mengetahui tujuan saya adalah sebuah tempat yang harus melalui banyak tanjakan. Kasihan, katanya.

Saya cepat-cepat mengangguk setuju. Meskipun petani tadi menyatakan akan ada banyak becak yang lewat sebentar lagi, tapi saya tidak terlalu memikirkannya.

Pikiran saya melayang tertuju pada seorang patriot yang pernah menguliahi saya berjam-jam, hanya untuk meyakinkan saya bahwa tidak hanya luasnya tanah atau banyaknya sumberdaya alam yang membuat Indonesia menjadi negara agraris. Tetapi juga kecintaan orang-orang Indonesia terhadap tanahnya. Pagi itu, saya menemukan bukti kata-katanya.

Tersadar bahwa petani tadi ternyata memandangi saya yang sedang melamun, saya gugup menyambar buku yang saya taruh dari kantong luar ransel, dan membuka halaman dimana saya selipkan sebuah undangan untuk menikmati sebuah pesta seni budaya, yang menjadi alasan saya datang ke kota itu. Meskipun saya sangat ingin membuka undangan itu dan mempertanyakan alamat perhelatannya pada orang-orang ramah yang ada di warung itu, tapi saya tidak melakukannya. Saya terlalu malu untuk membuka undangan pesta dihadapan orang-orang yang hatinya selalu berpesta dalam rasa saling peduli, saling menghormati, saling menyayangi dan saling memberi ini. Pelan sekali, saya masukkan undangan itu ke dalam ransel dan serampangan saja membaca halaman yang tidak sengaja terbuka tadi.

Dan tepat di tengah ketidaksengajaan itu pula, mata saya menangkap sebuah alinea yang mengutip kata-kata seseorang bernama Axel Munthe, yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia: “apa yang anda simpan untuk diri anda sendiri akan lenyap; apa yang anda berikan pada orang lain akan anda miliki selamanya”.

Tiba-tiba, saya merasa teranugerahi. Kebodohan saya yang tak pernah mampu mempersandingkan teori dengan faktanya, pagi ini terdobrak lantak.

Teori Axel Munthe menjadi sangat mudah saya lihat dalam fakta, bahwa tanah yang ikhlas diberikan bapak tukang becak kepada adiknya, tetap menjadi miliknya. Menurut petani tadi, adiknya selalu merawat tanah itu dan berkata bangga pada siapa saja, bahwa tanah itu milik kakaknya.

Terdobraknya kebodohan saya itu, melahirkan euforia. Tiba-tiba saja saya berani membuat hipotesa baru, bahwa keikhlasan bapak tukang becak memberikan tanah kepada adiknya itu tidak hanya membuat ia memiliki tanah sawah itu selamanya, tapi juga membuat orang-orang seisi desa menghormatinya.

Bahkan, saya kemudian menjadi sok tahu dan berpikir bahwa mungkin saja, bapak tukang becak itu tidak sekedar membuat orang seisi desa menghormatinya, tetapi juga membuat ibu pertiwi tersenyum bahagia.
 
Mungkin saja. Mengapa tidak?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banner 125x125 dan 160x600