1. Pendahuluan
Didalam
buku putih Pertanahan Indonesia yang diterbitkan Departemen Pertahanan Republik
Indonesia tahun 2008 dinyatakan bahwa hakikat kepentingan nasional Indonesia
adalah tetap tegaknya NKRI yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945 serta terjaminnya kelancaran dan keamanan pembangunan nasional yang
berkelanjutan. Kepentingan nasional tersebut diwujudkan dengan memperhatikan
tiga kaidah pokok, yakni tata kehidupan,
upaya pencapaian tujuan, serta sarana
yang digunakan. Tata kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia mencerminkan kesatuan
tata nilai yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang
berketuhanan Yang Maha Esa yang menjunjung tinggi kebinekaan yang ditunjukkan
dalam interaksi sosial yang harmonis.
Pembangunan
nasional merupakan upaya untuk mencapai tujuan nasional yang pelaksanaannya
secara berkelanjutan, berwawasan lingkungan, dan berketahanan nasional
berdasarkan Wawasan Nusantara. Sebaliknya,
sarana yang digunakan dalam mewujudkan tujuan nasional adalah seluruh
potensi dan kekuatan nasional yang didayagunakan secara menyeluruh dan terpadu.
Negara
Kesatuan Republik Indonesia merupakan harga mati yang harus dan tetap
dipertahankan oleh Indonesia dengan tetap menghargai kebhinekaan dan keragaman dalam
kerangka ekonomi-politik yang sama. Artinya walaupun Indonesia terdiri dari
beragam suku, agama, budaya dan bahasa akan tetapi tetap satu didalam
kepentingan ekonomi dan politik yang tertuang dalam Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945.
Hal ini lah yang kemudian tercermin dalam pemberlakuan otonomi
daerah. Pemberlakuan Undang-undang (UU No. 22 tahun 1999 tentang Daerah (lebih
popular disebut UU Otonomi Daerah/Otda) pada tahun 2001, yang telah
diperbaharui dengan UU No. 32 tahun 2004, merupakan tonggak baru dalam sistem
pemerintahan Indonesia. Dengan diberlakukannya UU tersebut menandakan
dimulainya era otonomi daerah yang memberikan wewenang seluas-luasnya kepada
pemerintah Daerah beserta seluruh komponen masyarakat setempat untuk mengatur
dan menguras kepentingan masyarakat di daerahnya dengan cara sendiri, sesuai
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pada tahap awal UU Pemda itu diberlakukan, telah mengundang
suara pro dan kontra. Suara pro umumnya datang dari daerah yang kaya, dengan sumber
daya yang sudah tidak sabar ingin rancangan UU tersebut segera diberlakukan.
Sebaliknya, bagi daerah-daerah miskin, mereka pesimis menghadapi era otonomi
daerah tersebut. Masalahnya, otonomi daerah menuntut kesiapan daerah di segala
bidang termasuk peraturan perundang-undangan dan sumber keuangan daerah. Oleh
karena itu, bagi daerah-daerah miskin pada umumnya belum siap ketika RUU Otda
itu diberlakukan. Namun pemerintah tetap berpegang pada kornitmennya, bahwa
sesuai rencana, tahun 2001 otonomi daerah tetap diberlakukan sekalipun disadari
bahwa dalam beberapa hal baik yang menyangkut peraturan perundang-undangan,
prasarana maupun sarana dan sumber daya lainnya belum siap.
Pemberlakuan Otonomi daerah dalam kondisi kesiapan yang minimal,
bersamaan dengan situasi dan kondisi masyarakat yang sedang mengalami krisis
ekonomi, di tengah-tengah suasana euphoria kebebasan (dari rezim orba),
menyebabkan dinamika penyelenggaraan otonomi daerah tidak berjalan sebagaimana
yang diharapkan masyarakat
2. Otonomi
Daerah dan Pengelolaan Sumber Daya Alam
Pengelolaan Sumber Daya Alam di era Otda banyak menimbulkan
dampak negatif keinginan Pemda untuk menghimpun pendapatan asli daerah (PAD),
telah menguras sumber daya alam potensial yang ada, tanpa mempertimbangkan
dampak negatif/kerusakan lingkungan dan prinsip pembangunan berkelanjutan
(sustainable development). Era Otda tidak disikapi baik oleh aparat Pemda, DPRD
maupun warga masyarakat dengan kematangan berfikir, bersikap dan bertindak.
Masing-masing elemen masyarakat lebih menonjolkan hak dari pada kewajiban dalam
mengatur dan mengurus sesuatu yang menjadi kepentingan umum. Dengan kata lain,
masing-masing lebih mengedepankan egonya untuk kepentingan pribadi dan
kelompoknya. Pemahaman terhadap Otda yang keliru, baik oleh aparat maupun oleh
warga masyarakat menyebabkan pelaksanaan Otda menyimpang dari tujuan mewujudkan
masyarakat yang aman, damai dan sejahtera. Keterbatasan sumberdaya dihadapkan
dengan tuntutan kebutuhan dana (pembangunan dan rutin operasional pemerintahan)
yang besar, memaksa Pemda menempuh pilihan yang membebani rakyat, misalnya
memperluas dan atau meningkatkan objek pajak dan retribusi, menguras sumberdaya
alam yang tersedia, dll.
Kesempatan seluas-luasnya yang diberikan kepada masyarakat untuk
berpartisipasi dan mengambil peran, juga sering disalah artikan, seolah-olah
merasa diberi kesempatan untuk mengekspolitasi sumber daya alam dengan cara
masing-masing semaunya sendiri. Di pihak lain, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD), yang seharusnya berperan mengontrol dan meluruskan segala kekeliruan
implementasi Otda tidak menggunakan peran dan fungsi yang semestinya, bahkan
seringkali mereka ikut terhanyut dan berlomba mengambil untung dari perilaku
aparat dan masyarakat yang salah .
Semua itu terjadi karena Otda lebih banyak menampilkan nuansa
kepentingan pembangunan fisik dan ekonomi. Akibatnya terjadi percepatan
kerusakan hutan dan lingkungan yang berdampak pada percepatan sumber daya air
hampir di seluruh wilayah tanah air, bahkan untuk Pulau Jawa dan Bali sejak
tahun 1995 telah mengalami defisit air karena kebutuhan air jauh di atas
ketersediaan air (Sumber: Direktorat Geologi dan Tata Lingkungan,
2001).Eksploitasi hutan dan lahan yang tak terkendali juga telah menyebabkan
hancurnya habitat dan ekosistem satwa liar yang berdampak terhadap punahnya
sebagian varietas vegetasi dan satwa langka serta mikro organisme yang sangat
bermanfaat untuk menjaga kelestarian alam.
Sementara pembangunan sumber daya manusia / SDM (moral,
spiritual intelektual dan keterampilan) yang seharusnya diprioritaskan, (karena
SDM berkualitas ini merupakan prasyarat), sangat kurang mendapat perhatian
sebagaimana dikemukakan oleh Riwu Kaho (1988:60), bahwa penerapan otonomi
daerah yang efektif memiliki beberapa syarat, sekaligus sebagai faktor yang
sangat berpengaruh, yaitu:
a. Manusia selaku pelaksana harus berkualitas
b. Keuangan sebagai biaya harus cukup dan baik
c. Prasarana, sarana dan peralatan harus cukup dan baik
d. Organisasi dan manajemen harus baik
b. Keuangan sebagai biaya harus cukup dan baik
c. Prasarana, sarana dan peralatan harus cukup dan baik
d. Organisasi dan manajemen harus baik
Dari semua faktor tersebut di atas, “faktor manusia yang baik”
adalah faktor yang paling penting karena berfungsi sebagai subjek dimana faktor
yang lain bergantung pada faktor manusia ini. SDM yang tidak/belum berkualitas
inilah yang menyebabkan penyelenggaraan Otonomi daerah tidak berjalan
sebagaimana mestinya, penuh dengan intrik, konflik dan carut-marut serta
diwarnai oleh menonjolnya kepentingan pribadi dan kelompok.
Departemen Pertahanan (Kemenhan), selaku lembaga yang bertugas
mengelola potensi pertahanan menjadi kekuatan pertahanan berkepentingan dengan
adanya dampak negatif dari pendayagunaan sumber daya alam untuk kepentingan
pertahanan negara di seluruh daerah otonom. Perlu disadari, bahwa kekuatan
pertahanan negara kita ini tidak terpusat, melainkan tersebar di seluruh daerah,
karena sesuai Doktrin Pertahanan Rakyat Semesta (Hanrata) kekuatan pertahanan
bertumpu pada simpul-simpul kekuatan yang telah diorganisir dan tersebar di
daerah.
Kemenhan patut merasa terpanggil perhatiannya melihat semakin
menurunnya kondisi lingkungan sumber daya alam di daerah, mengingat
masalah-masalah yang menyangkut bidang pertahanan tidak diotonomikan kepada
daerah. Dalam hal ini Kemenhan memiliki sejumlah peran dan kewenangan atas
pembinaan dan pendayagunaan sumber daya alam di daerah. Untuk menyikapi
perubahan-perubahan yang terjadi, baik di bidang kebijakan maupun pengelolaan
SDA oleh Pemda dan masyarakat di daerah di era Otonomi Daerah ini.
Kemenhan telah melakukan pengkajian Efektivitas Aparatur Kemenhan
dalam Era Otonomi Daerah. Maksud dari pengkajian ini adalah mencari “formula”
yang tepat dalam aspek kelembagaan, SDM, tatalaksana, pelayanan publik Kemenhan
dalam rangka menyesuaikan dengan perubahan-perubahan yang mendasar, baik di
bidang birokrasi maupun kemasyarakatan di daerah setelah memasuki era Otonomi
Daerah. Hal-hal yang perlu mendapat perhatian adalah bagaimana menjembatani
tuntutan masyarakat yang berbeda-beda di setiap daerah (sesuai dengan karakter
daerah masing-masing) dengan tantangan dan ancaman sejalan dengan dinamika perkembangan
lingkungan strategis yang sulit diprediksi serta tuntutan kebutuhan strategi
menghadapi ancaman. Masalah tersebut memerlukan penelitian dan pengkajian lebih
lanjut dan mendalam.
3. Sumber
Daya Alam sebagai Sumber Daya Nasional dan Peranan Kementerian Pertahanan
Republik Indonesia
Untuk
kepentingan pertahanan negara, Kementerian Pertahanan (Kemenhan), memiliki
kewenangan menetapkan kebijakan umum, menetapkan kriteria atau persyaratan dan
alokasi kebutuhan sumber daya, serta mengkoordinasikannya dengan semua pihak
terkait (departemen, intansi, dan Pemda), mengawasi dan mengendalikan
pelaksanaan pendayagunaannya. Dengan sejumlah kewenangan tersebut di atas, Kemenhan
memiliki tugas dan fungsi yang tidak mudah, apalagi Kemenhan tidak memiliki
kantor wilayah (Kanwil) sebagai ujung tombak di daerah. Peran Kodam yang selama
ini sebagai pengemban tugas dan fungsi (PTF) Kemenhan, menjadi kurang efektif
karena dipandang sudah tidak sesuai dengan tuntutan era reformasi, dimana TNI
memfokuskan diri pada tugas pokok pertahanan sebagaimana tertuang dalam konsep
reformasi internal TNI dan meninggalkan tugas-tugas pemerintahan. Disamping itu
tugas pokok Kodam selaku Kotama pembinaan kekuatan kewilayahan di daerah cukup
menyita waktu, sehingga tidak memungkinkan dapat mengemban dua tugas pokok dan
fungsi (Kemenhan dan TNl) sekaligus dengan tuntas.
Kondisi
inilah yang menginspirasi pemkiran/gagasan tentang perlunya pembentukan Kanwil Kemenhan
di Daerah. Dalam hal pengelolaan sumber daya alam seperti air, tanah, hutan, tambang
mineral dll, baik aparat maupun warga masyarakat masing-masing berusaha
mengeksploitasi secara serampangan, tanpa mengindahkan dampak negatif yang
merugikan generasi masa depan dan kelestarian lingkungan, bahkan kepentingan
penduduk daerah tetangga sekalipun. Sebagai contoh; daerah yang sebelumnya
sudah dihijaukan (reboisasi) melalui program penghijauan sekarang di era
otonomi banyak dijarah penduduk setempat dan lahannya digunakan sebagai areal
pertanian. Tidak peduli lahan tersebut berada di daerah lereng gunung yang
tidak layak sebagai lahan cocok tanam. Tidak peduli kalau aktivitas penjarahan
lahan seperti itu menyebabkan erosi dan banjir yang menimbulkan bencana yang
merugikan daerah tetangga. Otonomi daerah telah menimbulkan persaingan yang tidak
sehat antar daerah bertetangga dan perebutan SDA bernilai tinggi yang ada di
perbatasan wilayah daerah otonom, terutama hal ini terjadi pada daerah
perbatasan yang tidak jelas garis batasnya. Pada kenyataanya kecuali yang
menggunakan batas aliran sungai sebagian besar batas antar daerah tidak jelas
karena belum diukur dan dikukuhkan dalam peraturan perundang-undangan.Kerusakan
SDA dan lingkungan paling parah juga terjadi di daerah miskin sumber daya SDA
dimana lahan dan sumber daya yang ada di atasnya merupakan pilihan utama mata
pencaharian penduduk.
Sementara
itu, kebodohan penduduk menyebabkan mereka umumnya menggantungkan sumber mata
pencahariannya pada sektor pertanian dan hasil hutan. Kondisi seperti ini
dialami oleh sebagian besar daerah kabupaten di Jawa dan Madura, sehingga dari
hari ke hari luas hutan di Jawa dan Madura semakin menyempit. Diperkirakan
luasnya kurang dari 15 % dari seluruh luas tanah. Padahal sebenarnya luas hutan
dan areal di Jawa paling sedikit 30 % dari seluruh luas tanah. Sebagian besar
penduduk yang berpengetahuan rendah, menyikapi pemberlakuan otonomi daerah yang
bersamaan dengan krisis ekonomi dalam hal eksplolitasi SDA dengan cara-cara
yang tidak/kurang bertanggungjawab, pertama; tidak taat hukum/peraturan,
beberapa contoh dalam hal ini; penjarahan hutan (termasuk hutan reboisasi),
penjarahan areal pertambangan yang sudah dikonsesikan kepada perusahaan (BUMN,
BUMD & Swasta) dan mengolah tanah dengan serampangan (tidak sesuai dengan
kaidah/metoda pertanian). Dampak negatif dari penjarahan hutan dan cara bertani
yang salah dan ilegal telah menyebabkan kerugian ganda, yakni kehilangan
lapisan tanah subur karena erosi, banjir setiap hujan besar, sumber air semakin
menyusut dan kepunahan dari sebagian flora serta fauna langka. Kedua; rendahnya
tingkat kepedulian dan rasa tanggung jawab, baik kepedulian/tanggung jawab
sosial maupun lingkungan alam; bahkan terhadap masa depan diri dan anak
cucunya. Ketiga; malas bekerja, gejala ini tampak dari banyaknya tenaga muda
potensial yang putus sekolah atau tamat sekolah malas bekerja, mereka banyak
yang meninggalkan kampung/desa tempat tinggalnya berbondong-bondong pergi ke
kota. Di kota mereka lebih banyak menjadi “beban” karena sebagian hanya bekerja
secara sambilan di sektor informal (seperti pedagang kaki lima, pengamen, buruh
bangunan, pengemis, dll).
Gejala perpindahan penduduk dari desa ke kota
(urbanisasi), baik yang permanen maupun yang musiman, merupakan penyebab utama
terjadinya kesemrawutan wajah kota, kriminalitas dan kepadatan penduduk kota
yang sulit diperhitungkan serta dikendalikan. Sementara itu, aktivitas
pertanian dan nelayan di desa-desa telah mengalami stagnasi,bahkan penurunan
yang signifikan karena kekurangan tenaga kerja muda. Dua gejala yang
kontradiktif (pertumbuhan kota yang sangat cepat, tak teratur di satu pihak dan
pedesaan yang stagnan serta banyaknya kerusakan lingkungan di pihak lain),
tampaknya di era otonomi daerah ini tidak dipandang sebagai suatu masalah yang
patut mendapat perhatian dan upaya solusi yang sungguh-sungguh. Bilamana hal
ini dibiarkan berlarut-larut akan menimbulkan masalah besar dan kompleks
sehingga makin sulit diatasi. Di samping itu perusakan atau pelanggaran
terhadap lingkungan yang dibiarkan berkepanjangan dapat menyebabkan para pelakunya
menjadi bebal (tidak merasa apa yang diperbuatnya sebagai suatu kejahatan).
Padahal penjahat lingkungan itu merupakan “teroris laten” karena akibat
perbuatannya dapat menyengsarakan banyak orang di masa yang akan datang yang
tidak dapat diperkirakan berapa lama.
4. Otonomi Daerah sebagai Bagian Integral
Pembangunan Nasional
Implementasi
konsepsi ketahanan nasional sebagai landasan konsepsional operasional,
tercermiin dalam pembuatan dan pelaksanaan aturan perundang-undangan yang
dijabarkan kedalam peraturan daerah (perda dalam rangka pencapian tujuan
nasional, yang intinya terciptanya rasa aman dan harapan hidup sejahtera bagi
seluruh rakyat Indonesia), melalui satu perencanaan berdasarkan urutan
prioritas, program, dan rencana aksi.
Setiap UU tersebut mengatur Otonomi Daerah, namun cenderung berbeda beda
sesuai dengan kondisi social politik yang melatar belakangi diterbitkannya UU
dimaksud. Secara empirik telah terjadi sembilan kali perubahan perUUan yang
dijadikan dasar dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, namun hingga saat
ini belum ada keterpaduan dalam penafsirannya. Beberapa saat setelah proklamasi
kemerdekaan NKRI, diterbitkan UU no 1 tahun 1945. Secara silih berganti Undang
undang ini diganti dengan UU no 22 tahun 1948, UU no 1 tahun 1957, Penetapan
Presiden no 6. tahun 1959, UU no 18 tahun 1965, UU no 5 tahun 1974, UU no 22
tahun 1999, dan UU no 32 tahun 2004 sebagai revisi UU no 22 1999, serta UU no
33 tahun 2004.
Pada hakekaktnya filosofi
dasar UU no 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah, adalah diprioritaskan pada
peningkatan kualitas pelayanan dan kesejahteraan masyarakat. Ternyata
pelaksanaan UU no. 22 ini, belum sepenuhnya terselenggara secara efektif,
efesien, ekonomis dan akuntabel, atau belum mampu diwujudkan, bahkan semakin
banyak terdistorsi oleh kepentingan sesaat.
Dengan diterbitkannya UU
No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan penjelasannya sebagai pengganti
UU N0.22 Tahun 1999, serta UU No.33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan
antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dan penjelasannya, diharapkan
akan dapat mengeliminir semua permasalahan dan kendala dalam pelaksanaan
otonomi daerah, terutama dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik,
meningkatkan kesejahteraan, dan berbagai upaya dalam memfilter separatis.
5. Kesimpulan
1. Konsep Otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab
berdasarkan UU no. 22 tahun 1999 pada implementasinya lebih bertumpu pada
sisi otonomi daerah yang luas dan nyata saja dengan persepsi yang beragam.
Persepsi yang kurang tepat, dalam pelaksanaannya menimbulkan ekses yang
melampaui koridor otonomi dalam kerangka negara kesatuan. Karena otonomi luas,
muncul anggapan bahwa daerah dengan leluasa dalam penyelenggaraan pemerintahan
Daerah, dapat melakukan pengaturan sekehendaknya, tanpa adanya kepedulian
terhadap ketentuan yang lebih tinggi. Sedangkan aspek otonomi daerah yang
bertanggungjawab, cenderung kurang mendapat perhatian serius dari daerah.
2. Otonomi yang bertanggungjawab masih terkesampingkan dalam
pelaksanaannya yang seharusnya diwujudkan dalam bentuk peningkatan pelayanan
(services) untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, yang terlihat justru
semakin menurunnya kualitas dan kuantitas pelayanan kepada masyarakat.
Menurunnya pelayanan yang diberikan kepada masyarakat ditandai antara lain
dengan menurunnya pelayanan dibidang pendidikan dan kesehatan, dan penyediaan
fasilitas umum, serta kurang optimalnya pemeliharaan fasilitas umum yang telah
ada.
3. Dalam aplikasinya konsep otonomi daerah berdasarkan UU no. 22
tahun 1999 itu ada yang sudah tepat, ada yang belum tepat, dan ada yang tidak
tepat. Itu semua sebagai konsekuensi logis dari pemahaman terhadap konsep dasar
itu belum bulat karena memang ada pengaturan yang mengundang multi tafsir,
sosialisasinya pun belum meluas dan mendalam. Disamping itu juga karena
instrumen untuk melaksanakan itu semua masih ada yang belum tersedia. Instrumen
itu berbentuk undang undang, peraturan pemerintah, keppres, kepmen, perda, dan
keputusan kepala daerah. Pedoman, standar yang jumlahnya pasti banyak, sama
dengan banyaknya urusan yang ditangani oleh daerah. Disamping itu ada faktor
lain yang mempengaruhinya seperti isu globalisasi, trnasparasi, demokratisasi,
HAM, lingkungan hidup, dan lain lain.
4. Prinsip otonomi luas, nyata, dan bertanggungjawab yang seharusnya
dilaksanakan oleh masyarakat, sejauh ini dalam implementasinya didominasi oleh
pemda dan DPRD yang seringkali melupakan aspek filosofi dari penyelenggaraan
otonomi daerah. Sehingga yang terjadi hanya ada pergeseran tempat sentralisasi,
yang semula berada di instansi pusat, bergeser ke instansi daerah.
5. Dengan diberlakukannya UU no. 22 tahun 1999 mulai tanggal 1
Januari 2001, terlebih dengan adanya Ketetapan MPR no. IV/MPR/2000, secara
empirik terjadi friksi dan ketegangan antar tingkatan pemerintahan berkaitan
dengan kewenangan tersebut. Ada empat jenis friksi yaitu ;
·
Friksi antara unsur pemerintah pusat dengan penyelenggara pemerintah
daerah
·
Friksi antara pemerintah propinsi dengan kabupaten/ kota
·
Friksi antara pemerintah kabupaten/kota sendiri
·
Friksi dalam penerapan wewenang daerah di kawasan tertentu.
6. Permasalahan permasalahan tersebut diatas antara lain disebabkan
karena belum tersedianya peraturan pelaksanaan dari ketentuan UU no. 22 tahun
1999. Dengan dianutnya otonomi luas sebagaimana dinyatakan dalam pasal 7 dan
pasal 9, cenderung ditafsirkan oleh Pemerintahan Daerah secara litterlijk dan
menganggap bahwa semua kewenangan diluar ketentuan pasal tersebut menjadi
kewenangan daerah. Uraian pasal 7 ayat (2) yang tertuang dalam PP no. 25 tahun
2000 kurang diperhatikan.
7. Sedangkan pada sisi lain, Departemen Sektoral dipusat juga
berpegang pada UU sektoral masing masing. Sebagai contoh Departemen Kehutanan
berpegang pada UU no. 41 tahun 1999 yang mengatur mengenai kewenangan
kehutanan. Permasalahan timbul karena subtansi kewenangan pada UU no. 22 tahun
1999 dengan UU no. 41 tahun 1999 berbeda pengaturannya. Begitu pula Badan
Pertanahan Nasional selalu menganggap UU no.5 1960 tidak terpengaruh dengan
Undang undang lainnya. Akibatnya terjadilah friksi antara pusat dari antara
Departemen dan antara instansi pusat dengan daerah. Friksi pada dasarnya
berpangkal dari siapa yang mempunyai kewenangan secara hukum atas hal yang
disengketakan tersebut.
8. Apabila keberadaan Pemda adalah untuk melayani kebutuhan masyarakat,
konsekwensinya adalah bahwa urusan yang ditangani daerah seyogyanya berbeda
pula dari satu daerah dengan daerah lainnya sesuai dengan perbedaan karakter
geografis dan mata pencaharian utama penduduknya. Inilah yang sebenarnya
diakomodasikan dalam konsep otonomi nyata, namun dalam pelaksanaannya kurang
diperhatikan. Adalah sangat tidak logis kalau disebuah daerah kota sekarang ini
masih dijumpai adanya urusan urusan pertanian, perikanan, peternakan dan urusan
urusan yang berkaitan dengan kegiatan primer padahal daerah tidak memiliki
potensi itu. Untuk itu analisis kebutuhan ( need assesment) merupakan suatu
keharusan sebelum urusan tersebut diserahkan kesuatu daerah otonom.
Daftar Pustaka
1. Implementasi Konsepsi
Ketahanan Nasional dan Perkembangannya, Marsma TNI
(Purn) H. A. Gani Jusuf, S.IP, http://www.lemhannas.go.id/portal/in/daftar-artikel/1630-implementasi-konsepsi-ketahanan-nasional-dan-perkembangannya.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar