Iklan Premium

Judul Iklan

Isi Potongan Iklan
Dikirim oleh : Nama Pengirim, Alamat, No Telp | Kunjungi Website

KRONOLOGIS KONFLIK PERTANAHAN MESUJI (Lampung dan Sumatera Selatan)

Sejarah Konflik Mesuji
Pada 13 dan 15 Desember 1998, ribuan petambak udang di PT Wachyuni Mandira (WM) melakukan perlawanan dengan pihak perusahaan yang menuntut  lahan tambak yang dikelola secara plasma oleh perusahaan menjadi milik masyarakat.

Pada saat yang sama, bentrokan juga terjadi di perusahaan PT Dipasena, juga perusahaan penambakan udang milik Sjamsul Nursalim yang menguasai Bumi Dipasena seluas 16.200 hektare dengan tuntutan yang sama.

Konflik di Bumi Dipasena terus berlanjut  meskipun pengelola tambak berpindah tangan ke perusahaan PT AWS (Aruna Wijaya Sakti). Selama hampir setahun ini warga memblokir semua jalan menuju lokasi di Bumi Dipasena, yang merupakan petambakan udang terbesar di Asia Tenggara, sehingga sebanyak 7.700 petambak tidak dapat berbudi daya udang.

Disaat konflik dengan  PT. WM dan Bumi Depasena belum selesai, muncul konflik antara warga Kampung Sri Tanjung, Mesuji, dengan PT Barat Selatan Makmur Invesindo (BSMI) yang menewaskan satu orang warga dan beberapa orang terluka akibat peluru dari aparat keamanan. Dan disaat bermasaan terjadi juga  konflik berdarah di Sungai Sodong, Mesuji, Sumatera Selatan. Kedua konflik ini juga menyangkut sengketa lahan, bedanya dua yang terakhir terkait dengan lahan perkebunan.

Konflik di Register 45
Kawasan Register 45 pada tahun 1930 hanya seluas 33 hektare. Kawasan itu membentang dari perbatasan Sumatera Selatan dan Lampung yang dibelah Sungai Mesuji. Hanya sejumlah keluarga di Talang Gunung yang berani mendiami kawasan itu sejak tahun 1940-an.

Pada tahun 1986, pemerintah memberikan hak pengelolaan hutan kepada PT Silva Budi. Mereka diberi hak mengelola “hutan larangan” seluas 10 ribu hektare. Hanya boleh menanam tanaman industri seperti akasia dan sengon. Sawit, karet, dan tanaman pertanian lain tidak boleh ditanam.

Perusahaan kemudian menanam akasia. PT Silva Budi kemudian berganti nama menjadi PT Silva Inhutani karena bekerja sama dengan PT Inhutani V. Areal penguasaan mereka bertambah menjadi 25 ribu hektare hingga tahun 1997. Saat ini menguasai sekitar 43 ribu hektare.

Kehadiran ribuan orang mengkaveling-kaveling kawasan itu menambah kerumitan persoalan. Mereka datang dari Jawa Barat, Bali, Palembang, dan sebagian daerah di Lampung. Menanaminya dengan singkong, karet, dan sawit. Mereka juga mendirikan rumah dan sekolah seperti di Moro-moro yang saat ini berpenduduk lebih dari 6 ribu jiwa. Tanah itu dikaveling-kaveling dan dijual dengan harga Rp 3 juta hingga Rp 5 juta per hektare.

Rabu, 14 Desember 2011, LSM Pekat melapor ke Komisi III DPR RI adalah yang paling gencar menjarah dan menjual kawasan itu. Mendirikan perkampungan yang diberi nama Pelita Jaya dan Pekat Raya. Kelompok yang mengkaveling lahan itu ada juga yang menamakan Mayarakat Penyelamat Hutan Indonesia. Tidak seperti namanya, kelompok ini dituding polisi juga turut menjarah hutan. “Mereka ikut memperjualbelikan hutan,” kata Kepala Polres Tulangbawang, Ajun Komisaris Besar Shobarmen, saat memaparkan kronologi kasus Mesuji di hadapan anggota Komisi III DPR RI di Aula Markas Polda Lampung, Sabtu, 17 Desember 2011 malam.

Wayan Sukadana, yang aktif bertutur soal cerita pembantaian Mesuji, juga pernah menjadi terpidana kasus penjarahan dan pengkavelingan lahan Register 45. memiliki jejak rekam kerap menduduki lahan-lahan kosong dengan modus mendatangkan massa dari luar daerah. Kelompok Wayan menjual ribuan hektar lahan.

Konflik Desa Sungai Sodong Sumsel
Tahun 1997 terjadi perjanjian kerjasama antara PT SWA dengan warga, terkait dengan 564 bidang tanah seluas 1070 ha milik warga untuk diplasmakan.

Perjanjian tersebut untuk masa waktu 10 tahun, setelah itu akan dikembalikan lagi kepada warga. Selama kurun waktu 10 tahun, setiap tahunnya warga juga dijanjikan akan mendapat kompensasi.
 Namun hal itu tidak dilakukan sampai saat ini. Bulan april 2011 masyarakat  Sungai Sodong mengambil kembali tanah tersebut melalui pendudukan. Perusahaan malah menuduh pendudukan tanah warga tersebut sebagai gangguan.

Pada tanggal 21 april 2011, dua orang warga yakni Indra (ponakan) dan Saytu (paman) sekitar pukul 10.00 WIB keluar rumah berboncengan bertujuan ingin membeli racun hama. Mereka melewati jalan poros perkebunan warga (bukan wilayah sengketa dan di luar Desa Sungai Sodong). Tidak ada yang mengetahui peristiwanya, tiba-tiba pada pukul 13.00 WIB tersebar kabar ada yang meninggal 2 orang. Berita itu sampai ke warga Sodong termasuk keluarga korban.

Mendengar berita tersebut, keluarga korban termasuk paman dan adiknya langsung menuju TKP dan menemukan Indra terkapar di jalan dengan luka tersayat lehernya(tidak sampai putus) dan diduga ada 3 luka tembak, dua di dada dan satu di pinggang. Sementara Saytu ditemukan di dekat perkebunan kelapa sawit atau sekitar 70 meter dari jasad Indra, dengan posisi tengkurap dalam keadaan sekarat. "Saytu lalu ditanya adiknya siapa yang melakukan penganiayaan itu. Saytu menjawab yang melakukan adalah satpam, pam swakarsa, dan aparat".

Lalu, sekitar pukul 14.00 WIB, sebagian warga mendatangi base camp perusahaan dan ber unjuk rasa di situ. Mereka mempertanyakan, serta meminta pertanggujawaban mengapa keluarga mereka dibunuh. Menurut pengakuan warga, saat berdemo mereka tidak melakukan tindakan anarkis apalagi melakukan pembunuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banner 125x125 dan 160x600