Iklan Premium

Judul Iklan

Isi Potongan Iklan
Dikirim oleh : Nama Pengirim, Alamat, No Telp | Kunjungi Website

DOMINASI KEKUASAAN DAN RESISITENSI MASYAKARAKAT, Studi Kasus Konflik Peremajaan Pasar Senapelan di Pekanbaru, Riau

INTISARI
Kebijakan Otonomi Daerah telah memberikan kesempatan yang luas bagi lebih memihak kepada rakyat. Sehingga pemerataan pembangunan sampai ke daerah pedalaman dapat dirasakan oleh masyarakat. Keleluasaan Pemerintah Daerah untuk mengurusi dirinya sendiri tidak selamanya menimbulkan dampak positif bagi masyarakat, di sebagian wilayah justru menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat dengan terjadinya dominasi kekuasaan. 
Dominasi kekuasaan dalam pembangunan telah menimbulkan konflik vertikal antara Pemkot Pekanbaru dan investor di satu pihak dengan pedagang tradisional pasar Senapelan di pihak yang lain. Di mana, dominasi kekuasaan tersebut menimbulkan tindakan perlawanan dari pedagang Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif  –kualitatif. Lokasi penelitian berada di kelurahan Padang Bulan kecamatan Senapelan kota Pekanbaru, di mana merupakan salah satu dari empat pasar tradisional utama yang berada di jantung kota Pekanbaru, dengan jumlah pedagang mencapai 2000 orang. 
Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara observasi, dan  pengumpulan dokumen- dokumen. Penentuan informan dilakukan dengan teknik  purposif, di mana  informan  tertentu dianggap mewakili stake holder yang berkonflik. Wawancara dan observasi digunakan sebagai data primer. sedangkan data sekunder diperoleh melalui  pengumpulan dokumen. 
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa dominasi kekuasaan  dilakukan melalui: 1) pembuatan kebijakan non partisipatif, 2) tindakan represi, dan 3) kooptasi terhadap media massa dan organisasi pedagang. Perlawanan pedagang dapat dibagi menjadi dua: 1) perlawanan secara terbuka atau terang- terangan menentang kebijakan tersebut melalui aksi unjuk rasa, mogok makan, pernyataan tertulis, 2) perlawanan sembunyi atau tidak langsung melalui aksi mengumpat, merusak TPS, tidak menempati TPS, tidak membayar cicilan dan tidak mendaftar ulang. Selain itu,  pihak- pihak yang mendukung perlawanan pedagang dapat dibagi dua: 1) pendukung spesialis, datang dari kalangan mahasiswa- LSM dan intelektual, 2) pendukung umum, datang dari tokoh masyarakat setempat. Resolusi atau upaya damai dilakukan melalui mediasi dan konsiliasi. 
Mediasi diupayakan oleh DPRD Pekanbaru dan IKMR, sedangkan konsiliasi diupayakan oleh Pemkot Pekanbaru bekerjasama dengan investor. Namun demikian, penelitian ini menemukan kenyataan bahwa mediasi dan konsiliasi tidak berjalan dengan efektif. Yang terjadi adalah praktek dominasi kekuasaan yang dilakukan kembali oleh Pemkot dan investor terhadap upaya - upaya damai tersebut sehingga pedagang berada dalam posisi tersubordinasi atau tertindas dan tidak berdaya.

Kata kunci: Dominasi Kekuasaan, Perlawanan, dan Resolusi Konflik


A. Latar Belakang 
Kasus - kasus penggusuran tempat tinggal dan tempat usaha kaum miskin yang makin marak terjadi belakangan ini di berbagai kota di Indonesia merupakan fenomena sosial yang menimbulkan konflik vertikal. Seperti penggusuran Pedagang Kaki Lima  (PKL) dan pemukiman masyarakat miskin yang terjadi di wilayah Jakarta (Kompas, 11 Oktober, 13, 20-  22 Desember 2003), dan juga kasus pe nggusuran Pedagang Kaki Lima (PKL) serta masyarakat yang tinggal di bantaran sungai Yogyakarta (Kompas, 14 Mei 2004).

Dalam penggusuran tersebut melekat makna pemaksaan dan kekerasan oleh kolaborasi penguasa yang secara politik maupun ekonomi kuat. Hampir tidak ada dialog dan penyelesaian masalah secara damai,  win- win solution  dalam penggusuran. Yang ada hanyalah raungan mesin kekuasaan dan jerit tangis si tergusur.   Konflik vertikal antara pemerintah dan masyarakat juga terjadi di kota Pekanbaru. Konflik ini terjadi antara pedagang tradisional pasar Kodim atau Senapelan di kota Pekanbaru, propinsi Riau dengan Pemerintah kota Pekanbaru dan pengusaha. Hal ini disebabkan oleh rencana peremajaan pasar Senapelan yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Pekanbaru disertai dengan aksi pembongkaran paksa ratusan kios lama di pasar tersebut. Tindakan yang dilakukan oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Pekanbaru dalam rangka peremajaan pasar Senapelan tersebut telah melahirkan sikap penentangan pedagang pasar Senapelan. Kebijakan yang telah direncanakan sejak empat tahun itu, sekitar tahun 2001 yang lalu, berimplikasi pada terjadinya konflik vertikal (Media Indonesia, 17 Mei 2004).

Tuntutan sekitar 2000 pedagang pasar Senapelan sebenarnya cukup masuk akal, mereka meminta agar harga kios baru pascaperemajaan sesuai dengan kecukupan ekonomi yang dimiliki para pedagang. Pedagang tidak menolak pasar yang berada di Jalan Ahmad Yani Pekanbaru tersebut diremajakan karena dapat memoles wajah kusam kota Pekanbaru yang sedang berbenah diri (Media Indonesia, 09 Juni 2004).   Persoalannya, Pemerintah Kota (Pemkot) Pekanbaru dengan pihak investor P.T. Peputra Maha Jaya (PMJ) telah menyepakati harga  kios baru pascaperemajaan tanpa persetujuan para pedagang pasar Senapelan. Harga kios seluas 3x3 di blok A atau lantai dasar, mencapai harga Rp. 20 juta per meter 2 . Sementara blok B dengan luas kios sama, harga ditetapkan Rp. 14, 3 juta per meter . Blok ini berada di lantai dua dan tiga, sementara blok C berada di lantai empat  2 dan lima dipatok dengan harga yang sama dengan blok B (Media Indonesia, 09 Juni 2004). Lain halnya dengan Pemkot, pedagang pasar Senapelan hanya sanggup membayar kios dengan harga tujuh (7) juta rupiah sampai dengan delapan (8) juta rupiah untuk blok B, dan tiga setengah (3,5) j uta rupiah sampai dengan lima (5) juta rupiah untuk blok C. 

Selain permasalahan harga kios yang tinggi, konflik ini juga dipicu oleh kebijakan Pemkot yang tidak transparan dalam penempatan pedagang Senapelan di lokasi yang baru. Kebijakan tersebut dibuat  oleh Pemkot begitu saja tanpa terlebih dahulu bermusyawarah dengan pedagang. Pedagang eks pasar Senapelan akan ditempatkan di blok B dan C, sedangkan blok A ditempati oleh pengusaha dari Jakarta dan Singapura. Lokasi blok B dan C berada di belakang blok A, sangat tidak strategis bagi pedagang untuk melakukan transaksi jual beli, dan akan semakin merugikan pedagang lagi jika sistem satu pintu benar- benar akan diterapkan dalam pembangunan pasar tersebut. 

Tindakan pembongkaran kios yang tidak hanya terjadi sekali saja, ada beberapa kali penggusuran yang dilakukan pemerintah kota Pekanbaru yang melibatkan aparat. Pada akhirnya, para pedagangpun terpaksa harus pindah ke TPS (Tempat Penampungan Sementara) yang telah disediakan sebelumnya oleh Pemkot, dengan ukuran 3x2 m  di jalan Teratai Pekanbaru. Tempat Penampungan Sementara tersebut  disediakan sebanyak empat blok dengan berbagai fasilitas umum yang disediakan gratis bagi pedagang. Akan tetapi kenyataannya, sejumlah TPS ternyata harus diperoleh pedagang dengan cara membeli atau menyewa kembali kepada pedagang lain, sehingga menimbulkan rasa kekecewaan yang mendalam dari pedagang terhadap kebijakan Pemkot. Kenyataan ini diperparah lagi dengan kondisi TPS yang dijanjikan tidak sesuai dengan harapan yang dijanjikan Pemkot kepada pedagang Senapelan, kios yang tidak layak pakai dan tidak mencukupi untuk menampung seluruh pedagang korban penggusuran. 
 
Dengan terjadinya tindakan pembongkaran kios itu, bukan berarti aksi penentangan yang dilakukan oleh pedagang pasar Senapelan juga berakhir, malahan semakin gencar. Mulai tanggal 19 April 2004 sampai dengan akhir Juni 2004, para pedagang dengan dibantu oleh beberapa elemen masyarakat melakukan aksi protes terhadap Pemerintah Kota Pekanbaru.
Para pedagang melakukan aksi memprotes kebijakan Pemkot yang tetap melanjutkan pembangunan pasar Senapelan. Mereka yang terdiri dari pedagang pasar, mahasiswa, dan LSM menuntut agar Walikota menghentikan sementara pembangunan pasar tersebut sampai adanya kesepakatan harga antara pedagang dengan investor penyelenggara pembangunan tersebut. Bukan hanya menuntut walikota, pedagang dan sejumlah elemen mamsyarakat pendukung perjuangan juga meminta DPRD Pekanbaru untuk menyelesaikan persoalan ini. bertujuan untuk menuntut DPRD agar bersedia menjadi mediator mempertemukan pedagang

B.  Rumusan Masalah 
Aksi penentangan demi penentangan terus dilakukan oleh pedagang terhadap kebijakan Pemkot, walaupun para pedagang sadar, bahwa tuntutan mereka akan sulit untuk terpenuhi, bahkan di saat pondasi pembangunan pasar Senapelan tersebut mulai dilakukan awal bulan Juli 2004 lalu. Kebijakan seperti ini, bukan hanya sekali terjadi di Pekanbaru, beberapa waktu lalu, Pemkot juga mangeluarkan kebijakan peremajaan pasar Pusat atau Suka Ramai yang berdekatan dengan pasar Senapelan. Kebijakan ini juga menuai protes dari pedagang pasar Suka Ramai dikarenakan harga kios yang terlalu mahal bagi pedagang. Selain itu, Pemkot juga menggandeng investor yang sama dengan investor yang membangun pasar Senape lan, yaitu P.T. PMJ, dengan konsep bangunan yang sama. Dan konflik ini juga tidak dapat terselesaikan dengan baik.   

Kebijakan pemerintah yang kembali merealisasikan program peremajaan pasar tradisional (dengan menggandeng investor yang sama), dan kebijakan yang kembali mendapat tantangan dari para pedagang pasar tradisonal (pedagang pasar Senapelan), walaupun upaya penentangan itu tidak berhasil seperti halnya upaya penyelesaian konflik  yang juga tidak berhasil, merupakan permasalahan- permasalahan yang menarik untuk diangkat sebagai fokus penelitian. Penelitian ini berusaha mengungkapkan:
  1. Bagaimana bentuk- bentuk dominasi kekuasaan yang terjadi? 
  2. Bagaimana bentuk- bentuk perlawanan pedagang?
  3. Bagaiamana resolusi konflik yang diupayakan dalam konflik itu? 

     C. Manfaat Penelitian 
Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka manfaat penelitian ini adalah untuk:
  1. Mengetahui bentuk- bentuk dominasi kekuasaan
  2. Mengetahui bentuk- bentuk perlawanan yang dilakukan oleh para pedagang
  3. Mengetahui resolusi yang diupayakan atau berlaku dalam konflik tersebut.

     D.  Kerangka Teori
Teori konflik disampaikan sebagai pengantar teori untuk memberikan gambaran bahwa perspektif yang dipakai dalam tulisan ini adalah perspektif konflik.  Dari teori konflik kemudian diuraikan mencajdi teori Dominasi, resistensi dan upaya-upaya resolusi konflik yang dilakukan. 

E.  Kesimpulan 
Di antara kesimpulan yang dapat di ambil dari konflik tersebut antara lain:
  1. Dominasi kekuasaan terjadi dalam pembuatan kebijakan yang tidak menguntungkan pedagang pasar Senapelan atau kebijakan yang tidak (non) partisipatif. Tindakan ini diiringi dengan tindakan pemaksaan dan tindakan pengendalian pedagang. Kebijakan yang tidak partisipatif tersebut, diawali dengan pembuatan Peraturan Daerah (Surat Keputusan) yang  membuat Pemkot legal secara hukum. Dengan mengeluarkan Surat Keputusan atau Peraturan Daerah tersebut, Pemkot berhasil menguasai pedagang. Kebijakan yang tidak partisipatis ini diwujudkan melalui kebijakan penempatan pedagang di lokasi baru, yaitu blok B dan C, serta penempatan pedagang pada TPS yang tidak layak untuk berdagang. Selain itu, kebijakan non partisipatif terlihat kembali ketika Pemkot memutuskan untuk tetap melakukan pembongkaran paksa ribuan kios, los, dan kaki lima yang menyebabkan sekitar 2000- an pedagang tradisional kehilangan akses ekonomi mereka. Walau mereka masih mampu untuk melakukan kegiatan ekonomi, akan tetapi akibat pemindahan dan pembongkaran itu telah mengurangi keuntungan yang  mereka peroleh. Bahkan mengakibatkan sebagian pedagang jatuh miskin dan kehilangan pekerjaan atau menganggur. 
  2. Tindakan represi dilakukan oleh Pemkot dengan bantuan aparat keamanan dan preman setempat. Tindakan represi, yang dilakukan oleh aparat keamanan, diiringi dengan tindakan kekerasan. Tindakan pemukulan dilakukan oleh Satuan Polisi Pamong Praja kota Pekanbaru, sedangkan tindakan pemukulan dan penangkapan dilakukan oleh aparat kepolisian wilayah Pekanbaru sewaktu terjadi aksi unjuk rasa pedagang dan pembongkaran paksa kios pasar Senapelan. Sedangkan fragmentasi dan intimidasi ditujukan kepada pedagang, baik secara individu maupun kelompok dilakukan melalui preman. Secara personal, pedagang diancam dengan telepon, surat kaleng,  sogokan, dan adu domba antar sesama pedagang. Sedangkan secara kelompok dilakukan dengan mendatangkan preman secara langsung ke lokasi TPS seraya melakukan ancaman dan merusak dagangan. Tindakan ini bertujuan untuk menghentikan segala bentuk perlawanan yang dilakukan pedagang terhadap kebijakan pembangunan pasar Senapelan tersebut. 
  3. Dominasi dalam bentuk kooptasi terlihat di bidang informasi. Penguasaan informasi dilakukan melalui media massa (khususnya media massa lokal) dan organisasi pedagang.  Media massa. sebagai corong yang seharusnya menyoroti persoalan secara holistik, ternyata lebih minim memberitakan persoalan konflik tersebut. Porsi pemberitaan yang diangkat lebih banyak mengenai aplikasi kebijakan pembangunan yang akan membawa pada perubahan yang baik (modernisasi) daripada ketimpangan hubungan yang terjadi antara pedagang dengan pemerintah dan pengusaha. Di samping itu. Sedangkan kooptasi melalui organisasi pedagang dilakukan melalui ISIP, Ikatan Sosial Ibu- ibu pedagang ini dijadikan sebagai alat adu domba di tingkat pedagang. Dengan adanya tindakan ini, pedagang terpecah menjadi dua, yaitu pedagang yang tetap mendukung perlawanan dan pedagang yang setuju dengan kebijakan pembangunan tersebut.
  4. Perlawanan yang dilakukan oleh pedagang dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu perlawanan terbuka ( public transcript ) dan perlawanan yang dilakukan secara tidak langsung atau sembunyi- sembunyi ( hidden transcript ). Perlawanan terbuka dilakukan secara kolektif atau bersama- sama. Dengan mengumpulkan ratusan orang, pedagang melakukan aksi unjuk rasa, mogok makan, dan memberikan pernyataan tertulis bahwa mereka menolak setiap kebijakan pemerintah yang merugikan pedagang. Perlawanan ini bertujuan meniadakan basis dominasi atau mengubah kebijakan yang telah ditetapkan. Walau kemudian perlawanan ini tidak berhasil mengubahnya dikarenakan beberapa kendala teknis dan non- teknis. Kendala teknis, antara lain: keterbatasan dana untuk menyuplai logistik aksi di satu sisi dan keharusan menghidupi anak istri ata u mencari nafkah di lain sisi. Hal inilah yang menjadikan pedagang lebih memilih untuk berhenti melakukan aksi kolektif. Sedangkan kendala non- teknis antara lain: minimnya penanaman idiologi perlawanan kepada anggota kelompok (pedagang), menyebabkan kurangnya koordinasi di antara anggota kelompok dan anggota kelompok dengan kelompok lainnya, sehingga kurang mendapat simpati dari elemen masyarakat lainnya.
  5. Sedangkan perlawanan personal atau sembunyi yang pedagang lakukan tidak banyak berpengaruh langsung pada jalannya proyek pembangunan tersebut, seperti tindakan mengumpat, tidak menempati TPS, sikap sinis terhadap pendatang, maupun aksi pengrusakan TPS. Perlawanan ini terkesan sporadis, tidak kontiniu, dan hanya berupa pelampiasan kekecewaan belaka. Pedagang tidak melakukan aksi yang langsung berpengaruh terhadap jalannya proyek pembangunan, seperti pencurian material bangunan, tidak menteror pekerja proyek, dan tetap membayar retribusi pajak kepada pemerintah. Perlawanan ini tidak dilakukan dengan koordinasi kultural yang ada pada komunitas pedagang. Perlawanan ini lebih bersifat pelampiasan rasa kekecewaan yang dalam terhadap pihak Pemkot dengan investor dan perwujudan ketidakberdayaan pedagang terhadapnya. Selain itu, minimnya atau kurangnya pendidikan politik yang pedagang miliki, menjadikan perlawanan yang dilakukan dipegang oleh segelintir individu yang dianggap andal. Tanpa inisiatif dari individu- individu tersebut, perlawanan  akan  vacum , bahkan mungkin sirna sama sekali.  
  6. Dalam melakukan perlawanan, pedagang mendapatkan dukungan dari sejumlah pendukung, baik yang mendukung secara khusus maupun yang umum. Dukungan khusus diberikan oleh sejumlah aktivis dan individu tertentu yang peduli dan turut berjuang secara langsung bersama - sama dengan pedagang, seperti: aksi unjuk rasa, mogok makan, dan advokasi melalui jalur hukum. Dukungan tersebut berlangsung sesaat, sejumlah aktivis hanya bergerak didataran aksi, tidak melakukan upaya pemberdayaan atau pembelajaran dengan baik kepada pedagang tentang politik  dan idiologi sehingga dukungan itupun sirna seiring dengan sirnanya aksi unjuk rasa yang dilakukan pedagang. Pengecualian untuk dukungan yang diperoleh pedagang melalui jalur hukum, dukungan ini masih diperoleh oleh pedagang sampai saat ini. Sedangkan dukungan umum, diperoleh dari tokoh masyarakat dan intelektual setempat. Dukungan yang diberikan jumlahnya minim dan hanya bersifat dukungan moral. 
  7. Adanya indikasi perlawanan tersebut makin lama makin redup seiring dengan berjalannya waktu dan kukuhnya pemerintah (dan pengusaha) dengan pendirian awal. Walau demikian, secara personal pedagang tetap berharap pemerintah mendengarkan nasib mereka. Dengan harapan yang tipis, pedagang tetap melakukan perlawanan melalui jalur hukum. 
  8. Sementara, upaya resolusi konflik dapat dibedakan atas dua, yaitu konsiliasi dan mediasi. Konsiliasi dilakukan oleh pihak pemerintah dan mediasi dilakukan oleh institusi di luar kelompok pedagang dan investor, yakni DPRD Pekanbaru dan IKMR. Pemerintah (Pemkot) memiliki wewenang atau kekuasaan untuk membuat dan melaksanakan keputusan yang mengikat semua pihak yang berkonflik dalam wilayahnya. Akan tetapi, pada kasus peremajaan pasar Senapelan ini, pihak pemerintah lebih memilih memihak salah satu pihak, yakni investor sehingga konfllik pun tidak terselesaikan, malahan menjadi luas. Sedangkan mediasi dilakukan oleh DPRD dan IKMR, melalui kedua lembaga ini diharapkan perdamaian dapat terwujud. DPRD dan IKMR dianggap sebagai lembaga independen yang berada di luar kelompok yang berkonflik, sehingga sangat memungkinkan untuk menyelesaikan konflik antara pedagang dengan pihak Pemkot dan investor. Hal yang menarik, IKMR merupakan lembaga keetnisan Minang yang terbesar yang ada di Pekanbaru, dan mayoritas pedagang berasal dari etnis ini (60 %), akan tetapi,  kenyataannya IKMR sebagai lembaga mediasi tidak diterima oleh pedagang dan dianggap sebagai kaki tangan Pemkot. lain halnya dengan DPRD Pekanbaru, ketidakberhasilannya menekan Pemkot dan investor untuk menurunkan harga kios yang dituntut pedagang dan memaksakan pertemuan dengan pedagang menyebabkan konflik ini tetap berlangsung.  Resolusi memang dijalankan dan dilaksanakan, akan tetapi tidak menghasilkan penyelesaian yang berarti bagi konflik tersebut. DPRD dan IKMR terkesan enggan untuk mengambil resiko berhadapan langsung dengan pemerintah dan memilih posisi aman. 

DAFTAR PUSTAKA

Al- barry, M. Dahlan dan Pius A. Partanto, 1994,   Kamus Ilmiah Populer , Arkola, Surabaya.

Basrowi dan Sukidin, ed., 2003,  Teori- teori perlawanan dan Kekerasan Kolektif , Insan Cendikia, Surabaya.

Biro Pusat Statistik Kota Pekanbaru, 2002,   Kecamatan Senapelan dalam Angka , BPS, Pekanbaru. 

Biro Pusat Statistik Kota Pekanbaru dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Pekanbaru, 2002,   Pe kanbaru dalam Angka , BPS, Pekanbaru

Budiman, Arief, 1997,   Teori Negara, Kekuasaan dan Idiologi , P.T. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Craib, Ian, 1986,  Teori- teori Sosial Modern  , C.V. Rajawali, Jakarta. 

Dahrendorf, Ralf, 1986,   Konflik dan Konflik dalam Masyarakat Industri; Sebuah Analisa- Kritik  , C.V. Rajawali Pers, Jakarta.

Faisal, Sanafiah, 2001,   Format- format Penelitian Sosial , Rajawali Pers, Jakarta. 

Ghalib, Wan, 1980,  Sejarah Kota Pekanbaru  , Pemerintah Daerah Kotamadya Tingkat II Pekanbaru, Peka nbaru.

Giddens, Antonio dan David Held, ed., 1987,   Perdebatan Klasik dan Kontemporer Mengenai Kelompok, Kekuasaan, dan Konflik  , Rajawali Pers, Jakarta.

Hikam, M.A.S., 1990,   Perlawanan Sosial: Telaah Teoritis dan Beberapa Studi Kasus , Prisma, LP3ES, Jakarta. 

Johnson, Doyle Paul, 1986,   Teori Sosiologi Klasik dan Modern  , jilid 2, P.T. Gramedia, Jakarta.

Kartono, Kartini, 1996,   Pengantar Metodologi Riset Sosial , C.V. Mandar Maju, Bandung.

Kusuma, Nur dan Fitria Agustina, ed., 2003,   Gelombang Perlawanan Rak yat, Kasus- kasus Gerakan Sosial di Indonesia  , Insist Press, Yogyakarta. 

K. Yin, Robert, 2003,  Studi Kasus, Desain dan Metode , Rajawali Pers, Jakarta.

Magnis- Suseno, Franz, 1992,  Filsafat sebagai Ilmu Kritis , Kanisius, Yogyakarta.

------------,2003,   dalam Bayangan Lenin, Enam Pemikir Marxisme dari Lenin Sampai Tan Malaka,  P.T. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Mas’oed, Mochtar, 1998,   Tantangan terhadap Integrasi Bangsa, Studi Kasus Konflik Sosial dan Kerusuhan Massa  , Makalah, UGM, Yogyakarta.

Miall, Hugh, dkk, 2002,   Resolusi Damai Konflik Kontemporer, Menyelesaikan, Mencegah dan Mengubah Konflik Bersumber Politik, Sosial, Agama, dan Ras     , Rajawali Pers, Jakarta. 
 
Moleong, Lexy. J, 2000,   Metodologi Penelitian Kualitatif , P.T. Remaja Rosda Karya, Bandung.

Muchtar, Sunyoto Usman dan Lambang Trijono, 2001,      Konflik dalam Transportasi Kota di Kota Malang  , Jurnal Sosio Humanika, Fisipol UGM, Yogyakarta. 

Nasikun, J, 2003,  Sistem Sosial Indonesia  , Rajawali Pers, Jakarta.

Nurhasim, Moch.,   Konflik Tanah di Jenggawah, Tipologi dan Pola Penyelesaiannya  , Prisma, LP3ES, Jakarta. 

Patria, Nezar dan Andi Arief, 2003,   Antonio Gramsci, Negara dan Hegemoni , Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Poerwadarminta, 1986,   Kamus Umum Bahasa Indonesia  , diolah kembali oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen P dan K, Balai Pustaka, Jakarta.

Ritzer, George, 2000,   Sociological Theory , Fifth edition, University Of Maryland. 

Salim, Agus, 2001,  Teori dan Paradigma Penelitian Sosial , Tiara Wacana, Yogyakarta.

Sanderson, Stephen. K, 1995,   Sosiologi Makro: Sebuah Pendekatan terhadap Realitas Sosial , Raja Grafindo Persada, Jakarta. 

Sangaji, Arianto, 2000,   PLTA Lore Lindu: Orang Lindu Menolak Pindah  , Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Scott, James. C, 1981,  Moral ekonomi Petani, Pergola kan dan Subsistensi di Asia Tenggara  , LP3ES, Jakarta.

---------,1993,  Perlawanan Kaum Tani , Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

----------,2000,   Senjatanya Orang- orang yang Kalah; Bentuk - bentuk Perlawanan Sehari- hari Kaum Tani , Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. 

Sihbudi, Riza dan Moch. Nurhasim, ed., 2001,   Kerusuhan Sosial di Indonesia, Studi Kasus Kupang, Mataram dan Sambas , Grasindo Jakarta.  

Soekanto, Soerjono, 1984,   Beberapa Teori Sosiologi tentang Struktur Masyarakat , C.V. Rajawali, Jakarta. 

 ----------,1986,  Sosiologi: Suatu Pengantar , Rajawali Pers, Jakarta. 

 Suhelmi, Ahmad, 2001,  Pemikiran Politik Barat , Gramedia, Jakarta. 

 Susetiawan, 2000,   Konflik Sosial, Kajian Sosiologis Hubungan Buruh Perusahaan dan Negara di Indonesia  , Pustaka Pelajar Yogyakarta. 

 Tarrow, Sidney, 1994,   Power in Movement, Social Movement, Collective Action and Politics , Cornell University.  

The British Coouncil, 2001,   Mengelola Konflik, Keterampilan dan Strategi untuk Bertindak , Zed Book, London.  

Wallace, Ruth. A dan Alison Wolf, 1986,   Contemporary Sociological Theory: Continuing The Classical Tradition , Second edition, Englewood Cliffs, New Jersey.  

 Widyaningrum, Nurul, 2003,  Pola - pola Eksploitasi terhadap Usaha Kecil , AKATIGA, Bandung. 

Windhu, I. Marsana, 1992,   Kekuasaan dan Kekerasan Menurut Johan Galtung , Kanisius, Yogyakarta. 

 Zubir, Zaiyardam, 2002,   Radikalime Kaum Pinggiran: Studi tentang Idiologi, Isu, Strategi, dan Dampak Gerakan  , Insist Press, Yogyakarta.

Sumber Lain 
Harian Bintan Post, 19 April 2004
Harian Kompas, 11 Oktober 2003    
Harian Kompas, 03 Desember 2003  
Harian Kompas, 20- 22 Desember 2003  
Harian Kompas, 14 Mei 2004
Harian Kompas, 07 Juni 2004
Harian Media Indonesia, 17 Mei 2004
Harian Media Indonesia, 09 Juni 2004
Harian Pekanbaru Post, 14 Mei 2004
Harian Pekanbaru Post, 25 Oktober 2004
Harian Riau Expres, 14 Mei 2004
Harian Riau Mandiri, 05 Mei 2004
Harian Riau Post, 23 September 2004
Harian Tempo, 10 Juni 2004
Http://www.apindonesia.com.
Http://www.liputan6. com.
Http://www.Riau terkini.com. 
Http://www.Riau2020.com.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banner 125x125 dan 160x600