Iklan Premium

Judul Iklan

Isi Potongan Iklan
Dikirim oleh : Nama Pengirim, Alamat, No Telp | Kunjungi Website

SUMPAH PEMUDA SARANA SATUKAN ANCAMAN PERGOLAKAN DI DAERAH


Momentum Sumpah Pemuda harus dimaknai untuk menyatukan ancaman pergolakan di daerah. Hal ini disampaikan Ketua DPD RI, Irman Gusman dalam Seminar Nasional DPD RI dengan tema “Keberagaman, Kemajemukan dan Perjuangan Daerah” di Gedung DPD RI, Senayan, Jakarta, Kamis 27 Oktober 2011.

Menurut Irman Gusman  Momentum Sumpah Pemuda perlu dimaknai utnuk menyatukan kembali ke-Indonesiaan dengan memberi solusi penyelesiaan yang tepat terhadap masalah Papua dan masalah-masalah daerah lainnya, termasuk juga permasalahan daerah perbatasan, dengan tidak sekadar mengedepankan solusi pendekatan keamanan dan politik, melainkan juga budaya dan kesejahteraan. “Pergolakan kedaerahan umumnya timbul karena adanya ketidak adilan dan ketimpangan pembangunan antar daerah yang bermuara pada konflik antara pusat-daerah, ungkap Irman.

DPD RI yang lahir pada era reformasi ini pada hakikatnya dibentuk  untuk melaksanakan cita-cita Sumpah Pemuda yakni mengikat kembali persatuan daerah-daerah dalam bingkai persatuan dan kebangsaan. Namun, keberadaan DPD RI saat ini masih jauh dari harapan daerah-daerah itu sendiri. Keberadaan DPD RI diharapkan dapat memberikan kontribusi positif terhadap penguatan kepentingan masyarakat daerah dalam level kebijakan nasional. “Namun tentu saja masih memerlukan penguatan-penguatan institusional dalam rangka memperkuat hubungan chek and balances serta fungsi representasi politik daerah,tambah Irman.

Untuk itu Irman menjelaskan DPD mempunyai peran strategis tidak saja untuk menjadi corong bagi kepentingan daerah tapi untuk menjaga harmonisasi antara pilar kebhinekaan dan pilar kesatuan. DPD adalah jembatan yang menyatukan kedua hal yang seolah-olah bertentangan. Itulah tantangannya, yaitu bagaimana menyatukan gerak langkah antara menyatukan sebuah bangsa yang beraneka ragam dengan pada saat yang sama mendorong kesadaran untuk memahami keberagaman tersebut.

Sementara itu Ketua Indonesiasatu Foundation, Freddy Ndolu mengatakan Indonesia membutuhkan pemimpin yang berideologikan Pancasila. Menurut Freddy, Indonesia sebagai negara yang terdiri dari banyak kelompok etnis, agama dan ras dan latar belakang sedari dini sudah diakui hak dan kewajibannya. Pancasila menjadi dasar dan sumber hukum, nilai, norma, serta rumah bersama semua warga Negara “Perbedaan itu sebagai sebuah fakta yang tidak dapat dihindarkan, namun dirangkum dalam pilar bangsa yang kita sebut Pancasila,”ujar Freddy.

Lebih lanjut Freddy mengatakan, pemimpin  dan pancasila  merupakan  dua  idiom  yang memiliki  makna  filosofis  yang  sangat  kuat  bagi perjalanan sejarah umat  manusia. ”Pemimpin  Pancasila  harus sebagai inspirator  bagi  semua  yang  dipimpin, ”ujarnya. Untuk itu, Pancasila harus berfungsi, dimulai dari keteladanan pejabat yang berkuasa karena kepemimpinannya menjadi inspirator bagi para pengikutnya yang berkelanjutan terus dari generasi ke generasi. Namun faktanya yang terjadi saat ini, sulit untuk menemukan teladan pemimpin pada diri para pengambil keputusan.

Sementara itu, Peneliti LIPI, John Haba menyatakan negara menerima mandat dari rakyat untuk mengejawantahkan, dan mengimplementasi hak rakyat tanpa diskriminasi. Negara bertangungjawab untuk melindungi dan menjamin ketentraman hidup warganya. Tetapi disisi lain, John Haba menilai pemerintah (termasuk lembaga-lembaga agama) melalui berbagai kebijakan dan keberpihakan ikut menyuburkan radikalisme dan fundamentalisme. “Kebijakan-kebijakan mengenai Perda-Perda Syariah atau Kasus GKI Taman Yasmin Bogor, “ jelas John.

John menambahkan masih banyak isu-isu tercecer lainnya yang harusnya menjadi agenda bersama (terutama DPD RI dengan semua para pihak, terutama Pemerintah Daerah) antara lain mengenai hak-hak beribadah umat beragama di Indonesia, mensosialisasi prinsip-prinsip keberagaman dan kesatuan bangsa Indonesia, timpangnya relasi minoritas-mayoritas, penegakan hak-hak masyarakat tradisionil (adat / pribumi), terkurasnya kesadaran bernegara dengan ditandai oleh berkurangnya tapal batas (sengaja atau tidak sengaja) dan pembangunan wilayah perbatasan yang menjadi bagian integral dan tidak terpisahkan dari negara berdaulat Indonesia.

Menurutnya Pemerintah ikut berhutang politik kepada kearifan lokal masyarakat-masyarakat desa yang tergerus dan  membuat masyarakat menjadi kontra produktif. “ Hal ini terjadi tatkala negara mengintervensi dan merusakan moral dan sistim dasar masyarakat Indonesia, “kata John. Maka menurut John, pertanyaan yang timbul saat ini adalah di mana dan apa tindakan keberpihakan pemerintah baik pusat dan daerah bagi rakyatnya?.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banner 125x125 dan 160x600