Iklan Premium

Judul Iklan

Isi Potongan Iklan
Dikirim oleh : Nama Pengirim, Alamat, No Telp | Kunjungi Website

AKAR KEKERASAN


Kekerasan seolah menjadi hal yang lumrah terjadi di Indonesia. Sepanjang tahun 2011 kita disuguhi dengan beragam adegan kekerasan yang terjadi di masyarakat. Dari kekerasan fisik sampai kepada penghilangan nyawa. Tidak hanya secara horizontal (antar masyarakat) akan tetapi juga secara vertikal yang melibatkan Institusi negara yang seharusnya melindungi dan memberikan rasa aman bagi masyarakat.

Kekerasan yang terjadi disebabkan banyak faktor, ibarat  api dalam sekam, sekecil apapun penyebabnya dapat berujung pada kekerasan dan penghilangan nyawa. Sebagai contoh bagaimana seorang pencuri sepeda motor (terlepas salah atau benarnya tindakan pencurian tersebut) harus berakhir dengan dibakar oleh massa hanya gara2 mencuri sebuah sepeda motor. Kemudian eksekusi lahan yang melibatkan aparat  keamanan yang berawal dari bentrok fisik, penggunaan kekerasan fisik sampai kepada hilangnya nyawa. Begitu juga kita lihat bagaimana tawuran antar pelajar atau mahasiswa yang melibatkan senjata tajam, tidak segan-segan untuk menghabisi atau melukai lawannya dengan akibat yang maksimal.

Dan baru-baru ini bentrokan yang tidak seimbang  antara aparat keamanan (polisi) dengan masyarakat pengunjuk rasa di Bima dan Mesuji serta Pulau Padang yang menyebabkan korban jiwa dan luka-luka. Agak aneh jika kemudian aparat keamanan sebagai simbol perlindungan negara kepada rakyatnya justru bertindak narsis dan anarkis kepada masyarakatnya, apalagi hal itu dilakukan hanya untuk mengamankan aset suatu perusahaan yang bumi, air dan udaranya dimiliki masyarakat  itu sendiri (Pasal 33 UUD 1945).

Timbul pertanyaan dibenak, apakah sudah menjadi lumrah bahwa masyarakat Indonesia senang dengan kekerasan, penyelesaian masalah lebih suka diselesaikan dengan kekerasan?Apakah kekerasan menjadi watak manusia Indonesia ataukah memang watak manusia pada umumnya?Bagaimana upaya mengatasi kekerasan dimasyarakat  dan dimana peran negara ?Pertanyaan-pertanyaan tersebut coba dijawab dengan metode psikologi Sigmund Freud, Lorenz, dan  Erich Fromm.

Sigmund Freud, Konrad Lorenz, dan  Erich Fromm
Freud dengan teori instingnya mengatakan bahwa manusia tidak akan pernah lepas dari insting dominannya, yaitu insting seksual dan insting mempertahankan diri, yang lantas ini diperbarui kembali dengan konsepnya yang menyatakan tentang insting eros (kehidupan) dan insting kematian. Para penganut Freud mengkompromikan insting destruktif sebagai kutub lain dari insting seksual. Sebaliknya, insting kematian bisa menjadi picu merusak diri, atau kecenderungan merusak pihak lain. Hal ini merupakan pengembangan dari asumsi dasar bahwa manusia berada dalam pengaruh dorongan untuk merusak, serta pilihan untuk lepas dari pengaruh tersebut. Sehingga kecenderungan agresi, bukan reaksi atas stimulan yang muncul melainkan memang berasal dari dalam diri manusia sendiri. Pendek kata, bahwa perilaku agresi manusia adalah tak lepas dari hasratnya sebagai manusia.

Sedangkan Lorenz mengatakan bahwa kekerasan adalah faktor biologis di luar kendali manusia yang disebabkan kondisi sosial, politik dan ekonomi yang diciptakan oleh manusia sendiri. Energi yang mengumpul dan mengendap siap meledak, meski tanpa adanya stimulan (pemicu). Dengan kata lain, bahwa sebenarnya agresi sudah ada dan terpasang pada diri tiap manusia. Sehingga dengan stimulan paling kecil pun, atau tanpa adanya stimulan, agresi tersebut tetap akan mencari pelampiasan. Dan dibentuknya partai politik oleh manusia adalah guna menemukan stimulan untuk melepaskan energi agresi yang tertekan.

Erich Fromm menguraikan agresi dengan pendekatan psikoanalisis. Merupakan teori tentang upaya non nurani, resistensi, pemalsuan realita menurut kebutuhan subjektif, harapan, karakter dan konflik antara upaya-upaya berhasrat yang terkandung di dalam ciri pembawaan dengan tuntutan pemertahanan-diri. Sehingga sejauh mana seseorang dapat menekan hasratnya bukan hanya tergantung pada faktor internal diri seseorang, melainkan juga pada situasi. Dengan demikian agresi sama sekali bukan satu-satunya bentuk reaksi terhadap ancaman, meski pada umumnya semua kondisi yang memicu timbulnya perilaku agresif adalah ancaman terhadap kepentingan hayati. Dalam bentuk yang lebih kompleks adalah ancaman terhadap kebutuhan akan ruang fisik dan atau terhadap struktur sosial suatu kelompok
                                                                                                                                                                                  
Akar Kekerasan Masyarakat  Indonesia
Freud meyakini bahwa tindakan kekerasan yang dilakukan masyarakat tidak terlepas dari faktor individu yang membentuk masyarakat itu sendiri yang memang memiliki sifat agresif dalam dirinya yang cenderung merusak diri atau orang-orang yang ada disekitarnya,  dikenal dengan insting kematian. Stimulan bukan merupakan faktor penentu terjadinya tindakan kekerasan. Kemampuan mengendalikan diri akan menekan tindakan kekerasan. Dapat dengan agama, norma adat, dan pendidikan yang baik.

Lorenz menekankan bahwa tindakan kekerasan disebabkan oleh faktor biologis diluar kendali manusia yang dipengaruhi oleh kondisi sosial-ekonomi-politik yang ada. Stimulan sekecil apapun akan memicu tindakan kekerasan tersebut.  Untuk mencegah atau mengurangi efek kekerasan, tidak ada cara lain kecuali dengan menciptakan sistem sosial-ekonomi-politik yang baik dan kondusif. 

Erich Fromm mengambil jalan tengah dengan mengatakan bahwa tindakan kekerasan dipengaruhi oleh kedua faktor tersebut, berasal dari dalam diri manusia yang kemudian bercampur dengan kondisi eksternal (sosial-ekonomi-politk) yang menyebabkan terjadinya stimulan untuk melakukan tindakan kekerasan. Tindakan kekerasan tidak cukup hanya dengan pengendalian internal diri akan tetapi juga dengan menyingkirkan stimulan dengan menciptakan lingkungan sosial-ekonomi-politik yang baik dan berkeadilan.

Berkaca pada ketiga teori tersebut, kekerasan yang terjadi di Indonesia lebih banyak disebabkan oleh dua faktor;  faktor yang berasal dari dalam diri masyrakat Indonesia sendiri yang memang menyimpan potensi (hasrat) melakukan tindakan kekerasan. Potensi ini kemudian terus meningkat seiring dengan kondisi sosial-ekonomi-politik yang tidak membaik.

Tingkat kemiskinan, pengangguran, pendidikan, agama dan norma yang semakin tidak jelas arahnya ditambah dengan kebijakan-kebijakan yang tidak memihak kepentingan masyarakat seolah menjadi legitimasi legalnya tindakan kekerasan bahkan menjadi wajib mengingat kalau tidak rusuh dan berdarah-darah, negara seolah bungkam.

Potensi ini kemudian akan terus menumpuk semakin lama tertahan akan semakin besar potensi kekerasan yang akan ditimbulkan. Oleh karena itu, stimulan sekecil apapun menyebabkan tindakan kekerasan menjadi luas dan ibarat bola salju akan terus berlanjut sampai kepada salah satu pihak atau individu merasa puas atau dihentikan dengan tindakan kekerasan juga.

Dialog sangat penting untuk mengurangi efek domino tindakan kekerasan. Akan tetapi dialog hanya bisa menyelesaikan persoalan sesaat, tidak berjangka panjang. Dialog harus dibarengi dengan tindakan nyata perbaikan kondisi sosial-ekonomi-politik masyarakat secepat mungkin. Mekanisme komplain perlu di tindaklanjuti dengan arif dan bijaksana, tidak hanya sebatas data yang kemudian menjadi statistik, tidak diperbaiki. Kecenderungan defensif akan menjadi stimulan baru bagi tindakan kekerasan di masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banner 125x125 dan 160x600